Beberapa malam yang lalu saya tidak sengaja menemukan tayangan video di facebook tentang seorang mantan pejabat yang menjalani kehidupan di tengah hutan. Sebut saja Yadi. Dia memilih hidup menyendiri menjauhi hingar bingar kehidupan kota yang, mungkin, baginya membosankan. Dia mencari ketenangan dengan memilih tinggal sendiri di tengah hutan.
Apa yang dilakukan Yadi bagi kebanyakan orang tentu hal yang ganjil. Sebuah pilihan yang terkesan melawan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang membutuhkan orang lain.
Pilihan Yadi untuk tinggal di hutan sendirian, bukan berarti bahwa dia kehilangan predikat sebagai makhluk sosial. Sesekali Yadi keluar hutan dan kembali ke pusat keramaian kota untuk memenuhi kebutuhannya dasarnya, makan minum, pakaian, dan lain sebagainya. Yadi juga pulang menengok keluarganya. Atau istri dan anaknya sendiri datang berkunjung. Artinya, dia tetap membutuhkan manusia lain. Pilihan Yadi untuk hidup menyendiri masih tetap menempatkannya sebagai makhluk sosial karena dia masih tetap membutuhkan orang lain. Hanya saja Yadi tidak memiliki tetangga sebagaimana sebuah keluarga yang tinggal di area pemukiman.
Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki kecenderungan untuk hidup bersama. Manusia selalu secara niscaya membutuhkan kehadiran orang lain sebagai teman ngobrol, bertukar pikiran, membuat lelucon, bertransaksi, dan lain sebagainya.
Kodrat manusia sebagai makhluk sosial bermuara pada terbentuknya kehidupan bersama, kehidupan bertetangga. Manusia akan membentuk pemukiman yang terdiri dari sejumlah keluarga.
Kehidupan bertetangga pada setiap tempat secara umum memiliki prinsip-prinsip yang sama. Bertetangga di kampung maupun di kota selalu didasari oleh prinsip kebersamaan untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan antar tetangga yang satu dengan tetangga yang lain. Jauh di dasar hati yang paling jernih dan inti pikiran yang bersih, setiap orang pada dasarnya memiliki keinginan untuk membangun hubungan yang harmonis dalam kehidupan kolektif. Setiap orang selalu berupaya seminimal mungkin menghindari konflik dengan tetangga.
Apa itu tetangga?
Tetangga adalah sekumpulan rumah tangga atau keluarga lain yang bertempat tinggal di sekeliling kita. Dalam gagasan agama yang saya anut, Islam, tetangga diartikan oleh para ulama dalam cakupan yang berbeda-beda. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa tetangga itu menjangkau 40 rumah atau keluarga lain di sebelah kanan, sebelah kiri, depan dan belakang. Sebuah pendapat lainnya membatasi tetangga dengan jangkauan suara azan yang dikumandangkan di masjid.
Atau, misalnya, bisa pula diandaikan tetangga itu adalah semua orang yang dapat mendengar jangkauan suara bedug pertanda waktu shalat. Ukuran tetangga ini tentu bukan dalam sebatas pada agama tertentu tetapi menjangkau semua orang tanpa batas suku agama dan ras. Perkembangan teknologi saat ini membuat jangkauan suara adzan lebih luas lagi. Tetangga dalam definisi klasik ini tentu dapat mengalami redefinisi.
Pendapat lainnya, tetangga adalah semua orang yang dapat dijangkau oleh panggilan kita. Pengertian ini jelas sangat sempit dibandingkan sebuah pendapat lain yang menyebutkan bahwa tetangga adalah semua orang yang tinggal dalam satu kota. Kota dalam pengertian masa lampau tentu saja berbeda dengan pengertian kota masa kini. Kota di masa lampau bisa jadi hanya seluas perkampungan atau seluas wilayah desa/kelurahan saat ini.
Tetangga bisa terdiri dari beberapa keluarga yang berasal dari garis keturunan yang sama. Bisa juga keluarga lain tanpa ada hubungan darah. Ini berarti bahwa tetangga adalah semua orang yang ada di sekeliling kita dalam jangkauan batas tertentu.