Pola belajar anak-anak dewasa ini tidak harus dengan gaya belajar konvensional. Kegiatan pembelajaran tidak harus dalam situasi penuh kekakuan. Mereka tidak melulu belajar dengan duduk manis di bangku dan melipat tangan di atas meja. Dalam pembelajaran paradigma baru, kekakuan itu, setidaknya, harus diminimalisir. Anak-anak harus belajar dalam suasana rileks dan menyenangkan tetapi tidak menghilangkan kebermaknaan belajar itu sendiri.
Diperlukan transformasi gaya pembelajaran dimana anak-anak merasa betah, 'at home'. Kondisi ini akan sangat memungkinkan keterlibatan mereka secara maksimal dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, pembelajaran akan menjadi sesuatu yang bermakna dan memberikan nilai-nilai tertentu dalam kesadaran peserta didik.
Salah satu tujuan pembelajaran adalah menumbuhkan kecakapan emosional. Oleh karena itu, penting untuk meningkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Keterlibatan itu sendiri tidak hanya menyangkut aktivitas fisik tetapi juga emosional.
Keterlibatan emosional merupakan sebuah kondisi dimana pikiran dan perasaan siswa menyatu dalam sebuah proses pembelajaran. Satu hal yang diharapkan melalui keterlibatan secara emosional itu adalah menumbuhkan kepekaan batin.
Kepekaan batin, dalam hal ini, bukan kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat supranatural atau kepekaan terhadap sesuatu yang bersifat mistis. Kepekaan batin adalah sebuah titik yang menempatkan seseorang mampu menerjemahkan suatu keadaan tanpa perlu diucapkan.
Kepekaan batin membuat seseorang memiliki kemampuan merespon secara positif sebuah perubahan (peristiwa dan pengalaman). Mereka yang memiliki kepekaan ini akan memberikan tanggapan tertentu secara positif saat berhadapan dengan sesuatu yang menyentuh sisi kemanusiaannya. Kepekaan batin lebih mengacu kepada kepekaan yang mampu menumbuhkan sikap simpati dan empati.
Kepekaan batin merupakan kerja mental yang menempati posisi penting saat anak mulai belajar bersosialisasi dengan lingkungannya dalam lingkup yang lebih luas. Menghadapi realitas sehari-hari, kerapkali seseorang tidak memiliki kepekaan terhadap sebuah peristiwa, pengalaman, atau kenyataan yang ada di sekitarnya.
Sering terjadi, misalnya, siswa yang memiliki kemampuan lebih secara akademik di dalam kelas, disertai oleh sebuah sikap yang cenderung meremehkan temannya yang berada di bawah kemampuan dirinya. Sikap ini kemudian memicu siswa melakukan perundungan terhadap siswa lain yang dianggap memiliki kemampuan di bawah dirinya.
Pada titik inilah, kepekaan batin anak-anak perlu diasah dan ditumbuhkan. Anak-anak harus belajar memahami, menghargai, dan berempati kepada sesama. Anak-anak harus memiliki kepekaan agar mampu melihat secara jernih kekurangan orang lain. Inilah yang harus ditumbuhkan kepada siswa.
Salah satu media yang memungkinkan tumbuhnya kepekaan batin adalah media film. Dalam konteks ini, tentu film yang memiliki unsur edukasi.