Kebutuhan kayu yang sangat tinggi dalam proses pengomprongan tembakau bermuara pada meningkatnya angka penebangan pohon. Kayu yang ditebang memang bukan dari hutan tetapi ditebang dari perkebunan berupa pohon-pohon yang tidak produktif atau persawahan penduduk, seperti, pohon mangga, jambu mete, beringin, atau pohon asam.
Menurut para pengomprong, kayu asam merupakan bahan bakar paling baik karena bersifat keras dan menghasilkan panas yang lebih tahan lama. Pohon ini tergolong paling dicari para petani.
Terlepas dari tanaman produktif atau tidak, tetap saja penebangan pohon untuk digunakan sebagai bahan bakar dengan jumlah yang begitu banyak, secara niscaya, akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan.
Sejak tahun 2009, pemerintah daerah NTB dan perusahaan tembakau telah melakukan upaya untuk menggunakan batu bara sebagai bahan bakar omprongan.[1] Selain batu bara, alternatif lain yang direkomendasikan pemerintah dan pihak terkait adalah cangkang kemiri dan arang kelapa.
Walaupun sejumlah bahan bakar telah ditawarkan sebagai alternatif lain setelah Mitan dan kayu, petani lebih banyak memilih kayu karena harganya lebih murah.
Salah satu metode yang digunakan perusahaan adalah penanaman pohon yang diperuntukkan sebagai bahan bakar omprongan. Pohon-pohon itu ditanam pada lahan tidak produktif atau titik lahan persawahan yang kosong, seperti pematang. Namun, upaya ini belum mampu meminimalisir penebangan pohon-pohon yang sudah ada.
Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar semua kita tahu bahwa penebangan pohon secara masiv akan berdampak pada lingkungan.
Begitulah bisnis tembakau. Di satu sisi, mampu mendongkrak kesejahteraan petani. Di sisi lain, proses produksinya menyisakan kerusakan lingkungan yang bisa berakibat mengerikan.
Lombok Timur, 06/09/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H