Ramadhan merupakan bulan yang dirindukan. Kehadiran bulan mulia itu bagi umat Muslim tinggal menghitung hari. Maka, kerinduan itu akan segera terbayar. Hawanya terasa makin dekat. Jadi sangatlah wajar Rasulullah SAW mengajarkan doa yang biasa dipanjatkan dua bulan sebelum Ramadhan atau saat memasuki bulan Rajab.
Ya Allah limpahkanlah kepada kami keberkahan dalam bulan Rajab dan Sya'ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan.
Ramadhan menghadirkan bayangan indahnya lapar dan dahaga. Sebagai bulan lapar dan dahaga, Ramadlan tentu tidak sesederhana itu. Mengapa? Lapar bagi mereka yang menjalankan puasa, secara mendasar bernilai religius, spiritual, dan sosial.
Lapar puasa secara fisik terasa berbeda jika dibandingkan lapar saat tidak puasa. Lapar puasa memang terasa lemas tetapi tetap menyisakan energi dan kekuatan dalam menjalani kehidupan. Perut terasa kosong tetapi tidak melilit. Berbeda dengan lapar saat tidak sedang berpuasa; lutut bergetar, keringat dingin, sampai pusing-pusing.
Secara umum gairah umat Muslim pada semua daerah di Indonesia dan berbagai penjuru bumi mungkin sama saat Ramadhan tiba. Namun demikian gairah itu diwujudkan dengan kebiasaan dan tradisi yang beragam. Kebiasaan atau tradisi dalam bulan Ramadhan pada setiap daerah memiliki keunikan masing-masing.
Dalam masyarakat suku Sasak di Lombok sendiri terdapat sebuah tradisi pada tiga bagian terakhir bulan Puasa. Tradisi itu dikenal dengan istilah maleman. Saat maleman, masyarakat melakukan ritual menyalakan lampu yang dikenal dengan dile jojor Di daerah tertentu dinamakan dile maleman.
Lampu ini terbuat dari buah jarak (ada juga yang berbahan buah jamplung) yang ditumbuk dan dicampur dengan kapas. Campuran itu kemudian digulung atau dikepalkan pada sebilah bambu kecil sepanjang 15-20 cm. Sepintas lampu itu berbentuk sate pusut yang terbuat dari daging cincang.
Saya ingat betul, masa kanak-kanak saya tahun 70-80-an, saat maleman merupakan momen paling bahagia karena berada dalam keremangan cahaya lampu jarak atau dile jojor. Anak-anak masa sekarang tidak akan pernah merasakan betapa bahagianya kami masa itu. Dengan berselempang sarung, anak-anak dengan sukacita membawa dile johor keliling kampung. Sebuah kebahagiaan paling bersahaja karena saat itu belum ada fasilitas penerangan listrik.
Tradisi maleman, yang dilaksanakan antara maghrib dan isya, di Lombok dilakukan pada 10 hari terakhir bulan puasa. Di beberapa tempat maleman dilakukan malam-malam ganjil Ramadhan. Beberapa tempat lain dilakukan pada malam ke 21 dan 23. Di kampung saya dilaksanakan pada malam ke-21. Dile jojor itu ditempatkan pada berbagai sudut rumah dan halaman.