Beberapa keadaan Saya abadikan dengan kamera. Seseorang sedang bermain Saxophone sebelah gedung Plazsa, Â merekam orang-orang memberi tepuk tangan meriah. Pun keindahan taman serta gedung juga tidak luput.
Dalam bayangan diri sendiri yang baru saja tiba untuk pertama kali setelah penerbangan dari Katowice. Kota ini serupa taman indah - lengkap dengan kesibukan, perasaan, seni, dan segala yang tidak bisa direkam kata-kata. Tetapi semuanya tidak seperti di pesisir yang ditumbuhi Keranji, angin laut, dan debur ombak yang memiliki ritme begitu-begitu saja sepanjang waktu.
Eindhoven adalah hasil persetubuhan pemikiran manusia, kemajuan teknologi, singkatnya peradaban maju yang dipuja-puja. Sedang pesisir, masih murni kreasi semesta.
Saya seperti mengigau sembari menikmati perjalanan. Meskipun di lain kesempatan saya mengutuk masa lalu tentang penjajahan panjang - sebuah penindasan kemanusiaan yang sukar dimaafkan apalagi melupakan.
Sebelum langkah kaki berhenti di depan katedral, rombongan anak-anak kecil berjejar rapi, mengantre seperti kerbau dicucuk hidungnya - satu komando menunggu perintah. Mereka adalah siswa taman kanak-kanak yang sedang melakukan kunjungan ke beberapa museum kota, juga perpustakaan.
Perasaan lega juga terbayarkan. Kedatangan di Kota Eindhoven sebelum berangkat menuju Amsterdam memberikan kesan mendalam. Menyaksikan dunia anak-anak, riuh-rendah para pejalan kaki, tata letak kota yang menawan, juga gedung-gedung tertata sangat rapi.
Dari posisi saya berdiri, di depan sana ada dua menara gereja menjulang dengan gagah. Begitu lengang, hanya ada tiga orang paruh baya sedang duduk dan saling membelakangi. Satu membaca buku, dua lainnya seperti merapal doa-doa.Â
"Apa lagi yang dicari selain hal baru yang terlepas dari dirinya?"_ Saya terus bertanya sembari merenung.
Di kampungku pesisir yang sepi, ada gemuruh adzan dari Toa. Sedang di sini - suara lonceng melengking dari menara