Halo sahabat, mari kita bicarakan masalah ini dengan bahasa santai. Kita tahu, kebijakan sekolah lima hari ini memang sudah jadi perdebatan panjang, dan keputusan Munas-Konbes NU 2023 untuk menolaknya memunculkan banyak perbincangan. Yuk, kita coba lihat dari sudut pandang yang berbeda.
Jadi begini, sahabat. NU, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, tentu punya kepedulian yang besar terhadap pendidikan karakter dan keagamaan anak-anak kita. Nah, masalahnya muncul ketika ada kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa kita harus masuk sekolah lima hari dalam seminggu, yang disebut sebagai full day school.
Bukan berarti NU menentang pendidikan formal, ya. Tapi yang jadi masalah adalah potensi gangguan terhadap pendidikan karakter dan agama yang biasanya diberikan oleh madrasah diniyah sore hari. Ini seperti jatuhnya bola salju yang memengaruhi banyak aspek. NU punya banyak madrasah diniyah dan TPQ yang selama ini menjadi tempat anak-anak belajar tentang agama dan nilai-nilai moral.
Kita juga bicarakan soal produktivitas. Pemerintah bilang, lima hari sekolah akan meningkatkan produktivitas anak-anak di masa depan. Tapi, teman-teman, kita gak boleh lupa bahwa anak-anak itu punya hak untuk bermain, belajar di luar sekolah, dan berinteraksi dengan orang tua mereka. Jangan kita anggap anak sama seperti orang dewasa yang kerja dari pagi sampe sore. Itu bisa jadi bentuk eksploitasi anak-anak.
Kebijakan ini juga bikin kita bertanya, dasarnya apa? Apakah sudah ada kajian yang mendalam? Kita harus punya alasan yang kuat sebelum mengubah sistem pendidikan. Kita gak mau kebijakan yang dibuat hanya berdasarkan administrasi semata.
Selain itu, dari sisi hukum, ada masalah yuridis. Ada Perpres Nomor 87 Tahun 2017 yang menguatkan Pendidikan Karakter dan mencabut Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Kerja. Artinya, ada kontradiksi dalam regulasi yang harus diperhatikan.
Jadi, teman-teman, ini bukan soal menolak perubahan demi perubahan. NU punya landasan kuat, baik dari sisi agama, sosiologis, maupun yuridis, untuk menentang kebijakan sekolah lima hari. Yang kita inginkan adalah sistem pendidikan yang berpihak kepada kepentingan anak-anak, bukan sistem yang hanya mengikuti tren tanpa pertimbangan yang matang. Semoga keputusan ini bisa didengar oleh para pengambil kebijakan, dan kita bisa bersama-sama mencari solusi terbaik untuk masa depan pendidikan di Indonesia. Peace!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H