Mohon tunggu...
Moh Ali
Moh Ali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya

Nakal Tapi Masuk Akal Liar Asal Tidak Melanggar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Etika dan Batasan: Larangan Kampanye Sebelum Berakhir Masa Jabatan atau Cuti

19 Juni 2023   09:49 Diperbarui: 19 Juni 2023   10:03 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by freepik

Dalam dunia politik, isu larangan kampanye oleh pejabat pemerintahan sebelum berakhir masa jabatan atau cuti merupakan topik yang hangat untuk dibahas. Apalagi mendekati tahun-tahun politik seperti saat ini. Sudah bukan rahasia lagi, atau bahkan dijadikan sebuah budaya baru dalam bingkai politik negeri ini. Di mana etika dan batasan dalam politik sudah bukan patokan utama dalam menjalankan proses demokrasi yang baik.

Padahal larangan kampanye sebelum berakhir masa jabatan atau cuti oleh pejabat pemerintahan merupakan langkah penting untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan kompetisi politik yang adil sekaligus memastikan bahwa pejabat pemerintahan fokus pada pelayanan masyarakat tanpa adanya pengaruh politik yang mempengaruhi keputusan mereka.

Alasan lain mengapa pejabat dilarang kampanye sebelum berakhir masa jabatan atau cuti. Yaitu karena para pejabat yang masih menjabat memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuatan institusi yang dapat mereka manfaatkan seperti memiliki akses ke dana publik, fasilitas, dan kekuatan keputusan yang dapat digunakan untuk keuntungan politik pribadi. Hal ini dapat mengganggu prinsip integritas, netralitas, dan kesetaraan dalam kompetisi politik. 

Oleh karena itu, banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan larangan kampanye tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga etika dan batasan dalam jabatan pemerintahan.

Sesuai Undang-undang tentang pemilu Pasal 208 ayat (2) berbunyi: Gubernur beserta jajarannya juga tidak diperbolehkan untuk mengikuti masa kampanye tanpa mengajukan cuti terlebih dahulu. 

Ketentuan dalam menggunakan fasilitas negara juga diatur dalam Pasal 281 ayat 1 UU Pemilu tentang kampanye yang dihadiri presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakilnya beserta jajarannya tidak boleh memakai atau memanfaatkan fasilitas dari negara yang diperoleh karena jabatannya untuk berkampanye.

Dengan demikian seharusnya dijadikan acuan bagi pejabat pemerintah untuk menahan diri akan ambisi mereka untuk mendeklarasikan atau meng kampanyekan diri sebelum waktunya. Namun jika melihat fakta  saat ini. Malah bertolak belakang dengan apa yang sudah saya bahas diatas. Terlebih jika berbicara etika dan batasan dalam pesta demokrasi yang akan datang.

Terlebih saat ini sudah banyak cara agar tidak termasuk dalam katagori Undang-undang Pemilu Pasal 208 dan 281 tersebut. Salah satunya dikemas dengan acara halal bihalal pejabat pemerintah dengan mengundang seluruh elemen masyarakat atau membuat sebuah event dengan tema merawat nusantara dengan mengundang artis dan public figur lainnya. Sedangkan pemeran utamanya adalah mereka yang mau menyalonkan diri dalam kontes demokrasi pemilu ditahun 2024 mendatang.

Sebenarnya kita sudah mencoba untuk berpikir positif soal itu. Namun, jika hal tersebut berulang-ulang dan statusnya masih pejabat public dan acara itu bukan di daerahnya sendiri. Kan itu menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi inisiatif acara atau event tersebut adalah salah satu komunitas pendukungnya. Eh kok ini malah kemana mana ya. Kembali ke topik utama dalam etika dan batasan.

Dampak Penyalahgunaan Kekuasaan dalam kampanye politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun