Mohon tunggu...
Mohamad Aby Gael
Mohamad Aby Gael Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Antropologi, Universitas Airlangga

Menulis untuk meredam kegelisahan yang sering datang tanpa diundang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mengayuh Pilu Kemajuan Negeriku

1 Desember 2020   16:36 Diperbarui: 1 Desember 2020   16:49 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi menyapa persinggahan yang layu
Ia terengah, sesak nafas, kembang kempis
Asmanya kambuh
Akibat polusi gas buangan industri-bau mulut zaman,
Sampai sengat dari lubang pantat tumpanganmu

Bersepeda menjadi agenda pagiku
Aroma embun pagi sembunyi,
mungkin ia sedang ngambek
Sebab akunya sekarang terlalu asyik dengan sajak-sajak rembulan

Lanjut kukayuh, mengitari nasib orang-orang
Mataku terbelalak!
Seorang ibu memandikan bayinya di pesingnya air comberan
Sang bayi mengoek
ia kedinginan, kulitnya alergi
Ibunya nampak tak peduli,
ia mengomeli suaminya yang kesiangan, sebab semalam begadang kalah judi bola

Kayuh dan kukayuh, sekarang tiba di persimpangan jalan
Aku gemetar! Entah karna embun yang mulai merayuku atau perihal lain
Ternyata, karna sepasang adik-kakak penjual koran
Si adik mengucek mata
lelapnya belum komplit, sudah dipaksa kerja
Tentu, mereka telah kursus tentang cara berdamai dengan realita
Dan pendidikan hanya jadi dongeng yang ditertawakannya

Rehatlah Bung! Batinku lancang
Aku pun mengiyakannya, menepi ke trotoar
Merefleksikan yang telat terlihat
Ingatanku melesat pada kenangan beberapa tahun silam
Sebelum ku jilati bangku kuliah,
Aku bertanya, sarjanawan dicetak berkodi-kodi pertahun
Tapi mengapa kesejahteraan tak kunjung mewabah?

Ilmu mungkin telah menyibukannya, membikinnya insomnia
Potret di pinggir comberan dan persimpangan
Dianggapnya masalah tipologi sosial!
Dicapnya bodoh! Berkembang! Terbelakang! Tak berpendidikan!
Bagiku, mereka lebih dari sekedar narasi-narasi semu
Mereka petarung zaman! Di raut muka itu kau lihat debar perjuangan!

Kau mungkin tak percaya
Tanyakan perkara ini pada pembantu rumah tangga? Atau buruh migran?
Yang setiap harinya mengkesampingkan sindiran orang yang mengganggap dirinya orang kalah
Padahal ia ikhlas mengubur mimpinya demi semainya mimpi sang anak?

Negara? Dimana negara?
Tuhan
Ke manakah mereka yang kecanduan mengentengkan janji?
Apakah mereka tak kunjung tahu Tuhan?
Jikalau sejatinya pewujud janji hanyalah Engkau
Beraninya mereka berjanji?
Sedang mereka pun pikun akut dan tak kunjung sadar
Kampanye?
Kebijakan?
Keputusan?

Tak terasa keringatku mengucur deras
Vitamin D dan silaunya telah menari-nari di atas sana
Vertikal di kepala gedung perkantoran

Tuhan,
Pagi ini Engkau tidak hanya menyehatkan ragaku
Tapi juga hatiku
Syukur kuhaturkan padaMu
Kunanti pengajaran lain langsung dariMu
Di lain hari, di lain waktu.


Surabaya, 1 Desember 2020.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun