Ibu, aku mendengar tapak kaki daya juangmu
Dalam rahim kemuliaan, ditemani tali pusar dan jari mungilku
Memori melodi tembang Jawa mengayun syahdu
Mengantar nina boboku, lupakan tingkah lugu
Ibu,
Adalah engkau payung semesta
Adalah engkau bahtera surga
Adalah engkau embun dahaga
Adalah engkau mantel dinginnya asa
Adalah engkau cawan penghapus gundah
Adalah engkau sesempurnanya sosok
Adalah engkau penyair ulung,
Tak lewat nada, tak butuh rima, hanya indah suara
Kini ku di sepertiga jatah waktu kabanyakan orang
Dan nampaknya yang disebut "hidup" tak terasa hidup, Bu
Aku bimbang dan musam
Jikalau syairku tak pernah ku dendangkan
Di hadapan paras letihmu, di tulus dan lirih suaramu
Sebutlah aku buah hatimu, Bu
Secuil kalimat,
Menghempas semua pujian dan cacian yang datang di sepanjang waktuku
Ibu,Â
Senandung petuahmu bergemah
Mendinginkan arogansiku
Menetes bak air wudhu
Menyejukkan rada dan sukmaku
Menepis pilu, penunjuk langkahku
Kala tiba waktu subuh
Jemari itu, menceritakan banting tulangmu, Bu
Ibu,
Jika esok masih kelabu
Bolehkah aku tetap menangis dalam pangkuanmu?
Layaknya masa kecil dulu
Soal masa depan,
Ku percaya pada rajutan doa yang kau untai tak kenal waktu, Bu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!