Mohon tunggu...
Moh Ismul Adam
Moh Ismul Adam Mohon Tunggu... Petani - Hanya manusia biasa

Suka dengan banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dikdenk

30 Juli 2021   21:45 Diperbarui: 30 Juli 2021   21:57 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam yang sunyi di sudut gang, seorang mahasiswa  baru duduk dikursi depan kos yang terbuat dari bambu, sembari menikmati kopi dan menghisap rokok, ia duduk menggunakan celana pendek yang biasa ia gunakan untuk bermain futsal dan mengenakan baju lengan pendek berwarna merah yang sudah lusuh, sedikit berlubang kecil didekat kerah baju bagian belakang. Ia Bernama Radavel Rodi, Rodi adalah mahasiwa dari luar kota yang baru mendapatkan kamar kos disana. 

Ditemani dengan suasana yang hening, Rodi teringat almarhum kakeknya seorang veteran, ia mendengar cerita dari teman-teman kakeknya, bahwa dahulu kakeknya jago dibidang perang gerilya, meskipun kakeknya tak mengetahui secara pasti daerah yang ditempatinya untuk gerilya, teman kakek Rodi juga bercerita bahwa kakeknya memiliki benda pusaka, yang berupa gelang, 

Ketika kakek Rodi mengenakan gelang disaat menyiasati strategi gerilya, beliau lebih mudah untuk  menentukan taktik yang sangat baik yang akan digencarkannya, tetapi sialnya Ketika beliau tidak menggunakan gelang itu beliau tiba-tiba merasa kebingungan disaat itu dan diwaktu itu juga. Rodi melihati gelang berwarna coklat peninggalan kakek sembari memutar-mutar pergelangan tangannya "masak si gara-gara gelang ini kakek bisa melumpuhkan musuhnya dengan mudah?".

Di malam yang sunyi, hening dan hanya terdengar sedikit suara kendaraan yang merambat pelan dari kejauhan, Rodi mengangkat gelas berisi kopi yang ia minum sedikit demi sedikit sembari mengisap rokok ditangan, lalu ia meniupkan asap yang begitu tebal dan pekat ke arah depan, dibalik pekatnya asap rokok, Rodi melihat bayangan orang yang sedang dikejar layaknya maling, tidak lama kemudian Rodi mendengar suara telapak kaki yang terdengar tipis semakin mendekat "woi... berhenti!" ia juga mendengar suara itu "apa...? masak maling?" Rodi berlari menyusul mengejarnya "berhenti!" Rodi mengejar dengan sekuat tenaga untuk menyusulnya, mereka melewati gang-gang didaerah kosnya, Ketika Rodi mulai terengah-engah dan merasakan sesak dalam hatinya berkata, "aduh... capek...! ini mungkin kebanyakan merokok" tetapi Rodi memaksakan berlari karena ia penasaran dan ingin benar-benar memastikan bahwa yang ia kejar adalah maling. "Sial...! Parah...!" ia berteriak karena susah mengontrol nafasnya, "Ayo sedikit lagi...!" ia Kembali berteriak meskipun suaranya mulai mengecil akhirnya berhenti sejenak. "mungkin jika aku lewat sini akan lebih mudah untuk menyusul" setelah melihat jalan pintas tanpa pikir panjang ia langsung berlari.

            Rodi bergegas mengambil jalan pintas dengan tidak menghiraukan rasa sesak yang ia rasakan, setelah dua belokan dilewati Kembali ia merasakan dadanya sesak, "Ayo lah jangan lagi !" dia mulai marah pada badannya yang lemah, tiba-tiba "Aduh..!" ia berhenti karena menginjak krikil yang tajam, ia terpaksa berhenti melihati telapak kakinya, Rodi merasa ada yang aneh, ia disana hanya sendirian di dalam gelap dan sedikit cahaya yang terpancar dari lampu penerangan jalan, "Lho...! dimana ini... perasaan selama ini aku tidak pernah melewati jalan ini, padahal aku sering lewat daerah yang aku lewati tadi selama akhir seminggu ini" Rodi melihat sekitar sambil merasa kebingungan ia juga melihat rumah kuno yang masih terawat, lalu memberanikan diri sambil berjalan untuk menyusul mereka, keringat mengalir membasahi tubuh Rodi dan diiringi dinginnya angin malam yang menembus kulitnya. "mungkin maling itu sudah tertangkap" ia mendengar suara keributan dan segera menghampirinya, Rodi melihat dari kejauhan segerombolan orang yang sedang menghakimi.

            Rodi berjalan mendekati mereka, dari sela sela kerumunan terlihat orang yang menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya, "bang ada apa ini?" Rodi menepuk Pundak salah seeorang yang ikut mengerumuni, orang itu enggan menoleh kepada Rodi yang terus menghakimi, "ada apa ini!" Rodi menerobos masuk kedalam kerumunan tanpa ragu, sialnya ia malah terlempar jatuh kebelakang, disitu Rodi mulai geram, di posisi terjatuh Rodi berteriak "Woi... Stop!" suara itu terdengar begitu keras hingga mereka semua terdiam, semua menoleh kearah Rodi kecuali orang yang menutupi wajahnya dengan tangan, sontak Rodi kaget "Apa... tidak mungkin!" ia tercengang karena semua mirip dengan wajahnya, Rodi sangat cemas. "Siapa kalian semua, tidak mungkin diriku, tidak..!" teriakannya bergema ditengah malam dengan fikiran yang kacau, matanya menatap tajam memandang wajah yang mirip dengannya, "Mas gelangnya lepas sekarang juga!" orang yang dihakimi tadi berteriak dengan lantang, Rodi bergegas melapas gelang itu,"Cepat mas! Jangan lama-lama!" orang itu bertiak lagi tapi semakin Rodi melepas gelangnya gelang itu semakin menyusut dan sulit untuk dilepaskan. Orang itu tetap mendesak Rodi untuk melepas gelangnya, Rodi semakin jengkel karena gelang itu semakin menyakiti tangannya, keringat mengalir diantara kedua alisnya, saat itu juga orang orang mendekatinya dengan tatapan murka kepada Rodi. "Rasakan ini!"  Rodi melemparkan pukulan kearah orang yang mendekatinya, "Siapa kau, menjauhlah dariku!" dengan sekuat tenaga ia berusaha menggapai wajah mereka. "Aaaa...!" orang yang menutupi mukanya itu berteriak dengan keras karena Rodi berhasil memukul, seketika itu juga Rodi terpental dan tersungkur lemas, lalu "Mas siapa sebenarnya mas ini? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"

            Orang itu membuka wajahnya dan berdiri "aku adalah kencana dikdaya" lalu orang itu bertranspormasi kewujud aslinya "ukiran itu?" Rodi melihat motif yang ada diikat kepala kencana, motif itu bersinar putih diatas hitam "benar sekali... yang kamu lihat sama dengan ikat kepala kakekmu, kamu telah melihat motif diikat kepala ini dan kamu akan paham apa yang seharusnya kamu pelajari" Rodi menyaut "apa yang saya pelajari?" seketika itu kencana dikdaya perlahan menghilang, sambal menjawab pertanyaan Rodi terakhir kalinya "gunakan seluruh isi otakmu, aku tau kamu bisa menemukannya, dan kamu bukan jamur rumah karena kamu adalah laki-laki" Akhirnya rodi memutuskan untuk pulang sambil berfikir menundukan kepala. Disepanjang jalan dia merenung mengingat ucapan kencana digdaya. "Terang..., iya.. Benar sekali terang, motif yang bersinar itu.. ", akhirnya Rodi paham, bahwa ikat kepala itu berwarna hitam menandakan permasalah hidup kita, dan putih yang terang itu adalah ukiran yang berarti indahnya kebaikan diantara keburukan sifat, sehingga kakek nya bisa seperti itu, " Tapi aku tidak harus memiliki gelang supaya bisa, aku juga bisa..." Rodi tersadar dan akhirnya melempar jauh gelangnya, "enyahlah kau..., terimakasih...untuk mu... " Dia berteriak di tengah malam sambil berlari kegirangan, dari belakang Kencana Digdaya melihat Rodi sambil tersenyum bahagia karena telah berhasil mengajari cucu sahabatnya, dan semua cerita digdaya tadi hanyalah karangan nya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun