Cinta adalah kecenderungan untuk menyenangi sesuatu. Cenderung senang terhadap harta, berarti mencintai harta. Cenderung senang terhadap kedua ibu bapa berarti mencintai kedua ibu bapa. Cenderung senang kepada ilmu, berarti mencintai ilmu, cenderung senang terhadap Islam berarti mencintai Islam dan cenderung senang terhadap Allah berarti mencintai Allah.
Adapun Cinta itu melalui beberapa proses, diantaranya:
1. Perasaan simpati
Penyair Mesir (Syauqie Bey) yang terkenal itu merumuskan proses cinta ini, "Didahului dengan kerlingan mata, diiringi dengan senyuman, kemudian kepala tunduk tafakkur, akhirnya jantung berdebar-debar dan hati rindu menggelora... ah... asyyyyiiikkkk.... Apabila terjadi perpisahan, ah sulit menghilangkan wajah si dia. Kemana mata memandang disitu ada dia. Bak kata seorang penyanyi. Di dada ada dia, di dinding ada dia, dimana-mana ada dia. Wajahnya selalu terbawa hanyut dalam khayalan, terbawa tidur dalam mimpi. Terbuai dalam lamunan, tersentak dalam ingatan... ah ... alangkah bahagianya kalau si dia menjadi kekasihku. Pada saat itu semuanya serba indah. Mata- nya bak bulan purnama, alisnya bak semut beriring, dagunya bak lebah bergantung, pipinya kemerah-merahan seperti kena tonjok oleh mike tyson. Inilah yang dinamakan cinta itu buta (love is blind). Kekurangan-kekurangan sudah tidak kelihatan lagi. Kalau perlu ditutup-tutupi. Dan bahkan kalau perlu dibela, kalau ada orang yang mencela. Umpamanya kakinya pincang. Apa katanya. Bukan kakinya yang pincang. Tapi bumi yang tak rata. Badannya pendek. Apa katanya Gravitasi bumi terlalu kuat buat dia. Ah ... pendeknya semuanya serba indah... kata muballigh kondang kita Zainuddin M.Z.
Demikian juga dengan cinta kepada Allah. Karena dzat Allah tidak bisa dilihat, maka lihatlah ciptaanNya. Arahkan pandangan matamu kepada alam ciptaannya itu. Khususnya kepada dirimu sebagai salahsatu bagian dari alam yang indah itu. Bagaimana perasaanmu saat itu. Langit yang membiru disertai bintang gemintang yang bertabur seperti mutiara mutu manikam yang bertebaran. Laut yang membiru disertai angin yang sepoi sepoi. Gunung-gunung yang tinggi seperti bergantung di awang awang. Alangkah indahnya kesemuanya itu. Ciptaan- Nya saja sudah demikian indahnya apalagi Sang Penciptanya. Oleh sebab itu jatuhkan rasa simpatimu terhadap Allah yang telah menciptakan kesemuanya itu.
2. Curahan Hati
Proses cinta berikutnya adalah ingin mencurahkan perasaan hati yang lama terpendam. Dimulailah pertemuan demi pertemuan dan berujung dengan perkenalan. Apabila agak malu dan sopan biasanya didahului dengan chat di WA, DM di media sosial ataupun surat menyurat. Disusunlah kalimat demi kalimat yang rapi dan teratur. Biasanya tak kurang suatu pujian. Sanjungan tertulis dengan mesra. Kronologis perjumpaan ditulis dengan tidak ada yang tertinggal. Persis seperti anak sekolah yang menceritakan kronologis penciptaan manusia. Aduhai...
Demikian juga cinta kepada Allah. Allah memberikan surat cintaNya kepada kita. Sebanyak 114 pucuk surat. Bahasanya enak dibaca. mudah dimengerti. Sehingga hati pasti menjadi tergugah tanda hati telah tercurah kepadaNya.
 3. Perasaan Rindu
Selanjutnya apabila sudah saling mencinta, datang perasaan rindu. Dunia ini terasa lama sekali berputar. Sehari tak bertemu rasanya persis 12 jam. Seminggu seperti 7 hari. Perasaan tak enak, nafas sesak. Bengek barangkali. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Bukan karena banyak nyamuk. Tapi perasaan ingin bertemu selalu menghantui diri. Pikiran selalu tertuju kepada si dia.
Demikian juga perasaan cinta kepada Allah SWT. Jika hati selalu tercurah kepadaNya, biasanya perasaan rindu datang menggoda. Perasaan ingin bertemu selalu ada. Tapi kapan dan dimana? Gampang, syaratnya harus mati terlebih dahulu. Maka seorang mukmin tidak takut mati. Tapi bukan berarti ingin mati dan minta mati. Sebab mati pasti akan terjadi pada setiap manusia. Kullu nafsin dzaaiqatul maut.
Kematian bagi seorang yang beriman pada hakikatnya adalah perpindahan dari suatu alam kepada alam yang lain. Dari alam dunia ke alam qubur atau barzah. Yang dilanjutkan dengan alam-alam lainnya sampai bertemu dan berjumpa dengan Allah SWT. Dia menghadapi kematian itu seperti Nabi Ibrahim dalam menghadapi kematiannya. Sebelumnya ia menolak kematian, dengan mengatakan kepada Malaikat Izroill: "apakah layak anda mencabut nyawa orang yang mencinta Allah (kekasihnya)? Pada saat itu turunlah wahyu Allah kepadanya yang artinya: "apakah kau lihat bahwa seseorang kekasih benci untuk bertemu dengan yang dikasihinya? Mendengar firman Allah itu, maka tanpa ragu-ragu sedikit pun juga, Nabi Ibrahim berkata kepada Malaikat yang akan mencabut nyawanya, cabutlah nyawaku sekarang juga. Allahu Akbar.
Bersambung...