Nama Buku : Ibuku Inspirasiku
Penulis : Dr (Hc), Ir. KH. Salahuddin Wahid
Penerbit : Pustaka Tebuireng
ISBN : 978-602-8805-31-5
Resensor : M. Septian Pribadi
Ibu oh Ibu, satu kata namun penuh makna. Pepatah mengatakan, dibalik lelaki yang tangguh terdapat wanita yang kukuh. Didalam keluarga yang sukses dan berhasil tersimpan peran vital seorang ibu. Ibu adalah salah satu kunci penentu kesuksesan seorang anak, tak bisa dipungkiri apabila julukan “Madrasah Ula wa Aula” (sekolah pertama dan utama) bagi kepribadian seorang anak disematkan pada pundak seorang wanita yang tangguh, kita sering menyebutnya –Ibu.
Rasul bersabda ketika salah seorang sahabat bertanya, kepada siapa aku utamakan baktiku? Ibu, jawab Rasul, lalu siapa lagi? Ibumu, lalu siapa lagi? Ibumu, selanjutnya siapa lagi? Ayahmu, pungkas Hadraturrasul. Tanpa menafikan peran seorang ayah, Ibu memiliki sentuhan magic terhadap putra-putri mereka. Seorang Ibu bisa menyulap anak-anaknya seperti apa nantinya, tergantung bagaimana ia mendidik anaknya.
Hal serupa terbukti ketika seorang ibu harus membesarkan 6 anak yang masih muda seorang diri (single parent). Ketika KH. Wahid Hasyim wafat sebab kecelakaan mobil di wilayah Cimindi pada tanggal 18 April 1953, kondisi keluarga berubah drastis. Jika saja Bapak (Yai Wahid) masih ada tentunya beban keluarga lebih ringan dipikul bersama dengan Ibu (Nyai Solichah), tapi takdir berkata lain. Ibu harus menjadi seorang single parent di usia yang masih muda, 30 tahun dan ditambah jabang bayi yang masih dalam kandungan. (hal. 10)
Dalam usia yang relatif muda, Nyai Solichah harus membesarkan enam anaknya sendirian dan hanya memiliki basic pendidikan pada tingkatan menengah saja (Tsanawiyah). Bisa dibayangkan betapa sulit dan mirisnya kehidupan yang harus dijalani. Meski Ibu adalah istri dari Menteri Agama, tidak banyak harta yang ditinggalkan.
Mulanya sanak-keluarga merasa iba dan prihatin sehingga meminta Ibu agar kembali ke Jombang, namun ibu ngeyel (bersikukuh) untuk membesarkan anak-anaknya seorang diri di Jakarta. Bukan tanpa pertimbangan, Ibu hanya ingin bisa hidup mandiri tanpa harus menggantungkan hidupnya pada orang lain. Dengan bermodal semangat dan keberanian, Ibu pantang menyerah sebelum berjuang.
Menjadi leveransir (pemasok) bahan bangunan adalah langkah yang dipilih oleh Nyai Solichah untuk mencari nafkah. Meski sang suami memiliki nama yang besar bagi Indonesia, Ibu enggan bersandar pada pundak bayang-bayang Yai Wahid. Bagi Ibu, itu adalah prinsip yang ditanamkan betul pada anak-anaknya. Jika ingin besar, besarlah atas nama kalian sendiri. Tentu dengan prestasi dan jejak langkah dalam organisasi dan kehidupan. (hal. 31)
Seperti yang dialami oleh putra ke-3-nya, Umar Wahid ketika diminta menjadi Direktur RSUD Koja di Tanjung Priok, yang saat itu kondisi fisik, peralatan dan menajemennya tidak sebagus dibanding RSUD Pasar (saat itu menjabat wakil direktur). Atas usulan istrinya agar Umar meminta nasihat pada Ibu. Setelah bercerita, Ibu mengatakan lebih senang menjadi pemimpin rumah sakit daripada sebagai dokter ahli. Jangan menghindar dari tugas yang sudah diberikan kepada kita. “Itu adalah tantangan yang harus kamu hadapi untuk menjadikan RS Koja menjadi lebih baik.” (Hal. 13)
Tidak selayaknya ibu pada umumnya, Nyai Solichah Wahid juga merambah bisnis sebagai pedagang beras dan jual beli mobil. Ini semua dilakukan demi anak-anaknya agar memperoleh pendidikan yang layak dan sebaik mungkin. Sehingga Nyai Solichah memiliki peran ganda, sebagai ayah dan ibu sekaligus.
Selain pekerja yang ulet, Ibu adalah seorang aktifis sejak muda. Ketika masih di Jombang Ibu sudah aktif dalam NOM (Nahdlatul Oelama Muslimat), pembentukan ranting-ranting baru dan juga menjadi penceramah dalam pengajian ibu-ibu muslimat. Karena keaktifannya, Ibu diusulkan menjadi pimpinan tertinggi Muslimat NU yang didirikan pada tahun 1946 itu. Tetapi tidak diizinkan oleh Mbah Hasyim karena dinilai masih belum cukup umur ketika itu.
Kariernya seiring waktu semakin cemerlang, Ibu yang dijuluki oleh anaknya sendiri, Gus Dur, sebagai “Gila Muslimat” (karena secara ekstrem minat dan kegiatan ibu adalah Muslimat NU). Tidak heran beberapa kali Ibu menduduki posisi ketua. Dalam tindak-tanduknya di dalam Muslimat, Nyai Solichah merintis berdirinya Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang kini tersebar di puluhan wilayah dan cabang dari Muslimat NU.
Seakaan tidak memiliki lelah, Nyai Solichah terus mengembangkan sayapnya dalam mengabdikan diri bagi bangsa. Seperti yang dilakukan dalam organisasi sosial seperti YDB (Yayasan Dana Bantuan), Yayasan Bunga Kamboja, IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Indonesia), Home Care, Panti Jompo dan Pengajian para Ibu yang dinamakan al-Islah di Matraman Dalam, dan itu semua diluar lembaga Muslimat NU.
Tak berhenti disitu saja, pada tahun 1955, Ibu terpilih menjadi aggota DPRD DKI mewakili partai NU sampai tahun 1960 hingga terpilih menjadi anggota DPRGR pada tahun yang sama. Awalnya Ibu dikenal sebagai Istri dari KH. A. Wahid Hasyim, tapi karena sepak terjangnya yang tak kenal lelah, dia menjadi wanita yang disegani oleh berbagai kalangan. Selanjutnya Ibu terpilih kembali menjadi DPRRI pada 1971 mewakili partai NU, tahun 1977 dan 1982 mewakili PPP. Lalu pada tahun 1987 Ibu memutuskan pensiun dari DPR.
Salah satu peran fenomenal yang dilakukan Nyai Solichah adalah problem solver. Ketika dua kelompok dalam NU sedang berseteru antara kelompok Cipete dan kelompok Situbondo. Ibu memahami benar antara aspirasi kelompok kalangan muda NU dan posisi KH. Idham Chalid sebagai pemegang otoritas NU yang diperoleh melalui muktamar.
Ibu kemudian melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan secara baik-baik. Lalu terselenggaralah Pertemuan Sepanjang di rumah KH. Hasyim Latief dan kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada melalui forum muktamar di Situbondo pada tahun 1984.
Bu Nyai Solichah adalah wanita yang sempurna, meminjam istilah Gus Sholah, Ibuku, Ibu “Par Excellence”. Meski sibuk di organisasi dan berbagai kegiatan sosial Ibu tidak pernah lupa kepada anak-anaknya. Ibu sering kali menanamkan nilai-nilai tidak hanya melalui kata-kata. Beliau juga melaksanakannya di dalam kehidupan nyata, sehingga mudah dipahami dan dihayati (hal. 68).
Kejujuran, keberanian, egaliter dan kesunggahan hati dalam bekerja atau kerja keras adalah nilai-nilai yang dirasakan oleh anak-anaknya. Ibu bagi mereka adalah wanita yang sangat fair dan tidak pernah memaksa anak-anaknya dalam beberapa hal, justru memberikan keluasan bagi mereka untuk menentukan pilihan hidup termasuk pendidikan. Ibu juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berdiskusi dan belajar tentang perbedaan pendapat, suatu perbuatan bijak yang tidak lazim dilakukan oleh seorang Ibu pada masanya.
Tentu sangat jarang kita temukan wanita yang memiliki seribu peran seperti yang dilakukan oleh Nyai Solichah di zaman sekarang ini. Masih ada peran lain yang belum saya jabarkan satu persatu seperti hobinya yang suka silaturrahmi kepada tokoh nasional, lokal, bahkan masyarakat biasa, lalu ibu bagi semua golongan karena banyak sekali warga NU yang merasa Ibu Wahid telah menjadi Ibu mereka (hal. 76).
Bagi Gus Dur, meski jarang bertemu, kualitas pertemuan diantara keluarga harus tetap dijaga. Dan yang terpenting anak itu merasa bahwa orang tua itu memikirkan kebutuhannya. Jadi, dalam kesulitan apapun anak boleh datang ke orang tuanya (hal. 57).
Buku ini memberikan kita gambaran secara praktis untuk menjadi seorang ibu yang baik. Terlebih bagi wanita yang memiliki peran ganda dalam keluarga, mendidik anak sekaligus good in organization, rasanya buku ini high recomended untuk dibaca. Tapi kaum Adam juga perlu membaca buku ini untuk memberikan suntikan motivasi, bahwa seorang wanita yang single parent saja mampu ciamik dalam banyak peran, bagaimana? Tertarik?. Selamat membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!