Mohon tunggu...
Muhammad Septian Pribadi
Muhammad Septian Pribadi Mohon Tunggu... Wirausaha -

Niat saya menulis untuk memperoleh Ridho Ilahi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kegundahan Yang Tak Kunjung Reda

27 September 2014   03:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:20 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam begitu pekat hari ini. Menyelimuti kendaraan yang lalu-lalang membelah angin malam. Suara deru kendaraan moderen bersiul-siul bergantian mengusik awan yang tampak tenang. Pancaran rembulan tak lagi nampak, mungkinlangit sedang cemberut. Bintang-bintang pun bersembunyi dalam himpitan ketiak malam, mungkin karena kawan besarnya, sang rembulan engan muncul. Mungkin juga sebagi sikap duka cita bintang terhadap kawan seperjuanganya.

Brem-bremm... suara sepeda motor setengah tua yang aku hidupkan. Terdengar sayup-sayup suara ringkih dari mesin paruh baya ini. Aku tak perduli dengan suara itu, meski terlihat ringkih tapi sepeda motor ini masih gagah menemaniku untuk memburu butiran-butiran ilmu. Kali ini aku pergi kesalah satu pondok pesantren terkemuka di Jombang. Berbalut jaket hitam pada tubuhku dan kulilit kain khas pesantren dibagian kakiku. Dan tak lupa pula jimat kebanggaan pesantren diatas kepalaku.

Kukayuh sepeda motor paruh baya ini, terkadang kuderum-derumkan suaranya yang sedikit berisik dan sedikit merdu. Guruku pernah bercerita untuk memulai segala sesuatu dengan niatan yang baik. Kulantunkan niat dalam jiwa saat menempuh kelamnya malam. Berharap mencari keberkahan ilmu yang selama ini aku idam-idamkan dalam hidup.

Sesampaiku di pesantren tersebut, aku lantunkan Basmalah sebagai awal yang baik untuk menggais ilmu yang berserakan di padang pasir kabupaten Jombang. Ditengah pengajian yang berlangsung tenang, sebuah cerita mengusik hatiku dan mengingatkanku tentang pesta politik yang akan digelar. Memaparkan sebuah cerita tentang apa yang harusnya dilakukan oleh para pemimpin di negeri pertiwi ini. Kegundahan yang tak kunjung reda.

Ditengah kerumunan pasar, Nuh bin Maryam seorang Qodhi amanah, adil dan dihormati serta dicintai oleh penduduknya berjalan-jalan menyusuri pasar. Ditengah perjalanan dia membeli sebuah budak dari seorang pedangang yang menawarkan kepadanya. Budak ini bernama Abdulloh bin Mubarok. Lalu Abdulloh dibawa pulang oleh sang Qodhi tersebut.

Suatu ketika sang Qodhi memerintahkan kepada Abdulloh untuk menjaga kebun anggur miliknya agar tidak dibajak oleh komplotan penjahat. Seiring berjalanya waktu, hari menjadi minggu dan minggu menjadi bulan hingga genap dua bulan Abdulloh menjaga kebun tersebut. Hingga suatu siang berkunjunglah si-Qodhi yang adil ini ke kebun anggurnya. Berjalan-jalanlah dia sembari menyusuri dan mencicipi anggur yang bergelantungan dibawah ranting. Diambil dan dimakan satu buah anggur, terasa asam di dalam mulutnya. Merasa heran kenapa terasa asam, diambil untuk kedua kalinya sebuah anggur dari ranting yang berbeda, dan rasanya tetap asam.

Qodhi ini lantas menghampiri Abdulloh dan bertanya : “kenapa anggur-anggur disini terasa asam.” Abdulloh menggelengkan kepalanya tanda tak tahu. Kemudian Abdulloh berkata : “Wahai tuanku, bukankah engkau memerintahkanku untuk menjaga kebun anggur ini ??”. menganguk kepala si-Qodhi mengiyakan. Lalu Abdulloh melanjutkan : “karena engkau memerintahkanku hanya untuk menjaga kebun ini dari pencuri, maka tak pernah satu buah pun pernah aku ambil. “ kaget dan kagum Nuh bin Maryam terhadap budaknya ini.

Bahkan pernah suatu ketika Abdulloh bin Mubarok ini dimintai nasihat oleh majikanya tentang suatu perkara yang hendak dia putuskan. Suatuperbuatan teladan dan pemberani dari seorang pemimpin agung yang adil dan dicintai oleh masyarakatnya, tanpa rasa sungkan dan malu meminta nasihat pada siapapun, tanpa pandang jabatan, yang memiliki sikap dan sifat yang mantap akan agamanya dan keteguhanya dalam memegang amanah dan kejujuran.

Seorang ahli hikmah mengatakan خير الأمراء يأتون العلماء وشر العلماء يأتون الأمراءartinya “Sebaik-baiknya pemimpin adalah yang sering bertamu pada Ulama’ dan seburuk-buruknya Ulama’ adalah yang sering bertamu pada pemimpin”. Sebuah guyonan sekaligus slentingan tentang “calon pemimpin” baik itu Capres, Caleg, Camat, Cabup dan sebagainya sering kali kita lihat bertamu pada para Kiai atau Ulama’-ulama’ sepuh yang dianggap masih memiliki karomah dan ijabah dalam setiap fatwa dan doa’nya. Namun sebaliknya ketika mereka telah memangku jabatan yang diharapkan, seperti kacang yang lupa kulitnya. Mereka hampir tak pernah lagi berkunjung kepada para Ulama’ untuk meminta tetuah dan nasihat. Padahal yang dimaksud dari pemimpin dalam sya’ir tersebut adalah pemimpin yang duduk diatas kursi jabatanya.

Suatu kenistaan ketika seorang Ulama’ sering kali mendatangi para pemimpin dalam rangka mengirimkan proposal, meminta bantuan dana, begono-begini dan lain sebagainya. Dalam sebuah literatur disebutkan, berdirinya sebuah negara yang harmonis jika ada :

1.Ilmunya Ulama’

2.Adilnya Pemimpin

3.Dermawannya Aghniyaa’

4.Do’anya para Fuqoro’

Suatu negara akan dipimpin oleh seorang penguasa yang adil jika senantiasa meminta tetuah dan nasihat dari ilmunya para Ulama’. Begitu pula negara akan menjadi ma’mur dan harmonis jika para aghniyaa’ berkenan memberikan sedekah bagi para fakir miskin. Lalu fakir miskin mendo’akan para orang yang dermawan, pemimpin dan para Ulama’ serta negaranya. Dalam Suatu riwayat mengatakan bahwa do’a para Fuqoro’ dapat menguncangkan langit dan arsy.

Dalam ilmu Biologi kita mengenal mata rantai makanan yang berotasi saling melengkapi. Jika salah satu anggota rantai tersebut punah maka akan mengancam kehidupan anggota yang lainya. Begitu pula sebuah negara, ibarat sebuah mata rantai jika salah satu mata rantai itu hilang maka keseimbangan sebuah negara akan terguncang.

“Kukembalikan semua kegundahan ini padamu wahai Tuhan, aku harap kegundahan ini akan segera berakhir seiring perputaran roda politik dalam indonesiaku tercinta. I hope and Pray...”

والله أعلم بالصواب

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun