Mohon tunggu...
moh. romadlon
moh. romadlon Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan penyuka buku

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenaikan Elpiji Non-subsidi Sebuah Berkah atau Musibah?

18 September 2014   22:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia



Kenaikan harga elpiji merupakan isu sensitif yang selalu mengundang beragam polemik. Terlebih bila hal itu sudah masuk ke ranah politik. Tentu akan menjadi polemik yang cukup pelik lagi. Sehingg, subtansi masalahnya menjadi kabur. Pro dan kontra selalu ada di sana. Termasuk pada kenaikan elpiji non-subsidi yang kali kedua pada tahun yang sama, yakni sebesar Rp.1.500,-/kg. Dan itu hal wajar dalam alam demokrasi. Tinggal mesti disadari, semua itu harus bermuara pada satu tekad untuk kebaikan bersama.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas pro-kontra tersebut, namun menitik beratkan bagaimana memandang kenaikan itu sebagai sebuah anugerah yang memberi beberapa hikmah dan pelajaran bagi kita bersama.

LATAR BELAKANG PENYESUIAN HARGA

Pertamina dalam menaikan harga elpiji non-subsidi tentu sudah melalui pertimbangan banyak pihak. Salah satunya adalah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK No.06/AUDIT VII/KINERJA/02/2012 tanggal 5 Februari 2013 dari tahun 2011 – 2013 saja Pertamina telah merugi 7,73 Triliyun. Oleh karena itu, BPK memberi rekomendasi pada Pertamina untuk segera mengambil tindakan, berupa ; 1) Menaikan harga ELG tabung 12 kg sesuai biaya kerugian Pertamina dengan tetap mempertimbangankan harga patokan EPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. 2) melaporkan kenaikan elpiji 12 kg tersebut kepada menteri ESDM.

Menindaklanjuti temuan dan rekomendari tersebut, Pertamina mengambil tindakan dengan mengajukan roadmap penyesuaian harga elpiji ke kementerian ESDM. Untuk mencapai perbaikan margin elpiji 12 kg, Pertamina mengusulkan adanya kenaikan berkala, yakni setiap 6 bulan sekali. Akhirnya, pada semester kedua tahun ini, pemerintah merestui Pertamina menaikan harga Rp.1.500,-/, tepatnya pada tanggal 10 Septetember lalu.

Menengok sedikit kebelakang, sebelum kenaikan tersebut, tepatnya pada awal Januari 2014 ini, Pertamina telah menetapkan kenaikan sebesar Rp. 3.500,-/kg. Kenaikan sebesar itu, ternyata menimbulkan gejolak dan protes cukup keras dari berbagai kalangan. Sampai akhirnnya atas perintah Pemerintah, Pertamina menurunkan angka kenaikan menjadi Rp. 1.000,-/kg. Meski sudah menaikan harga, tapi harga jual Pertamina masih jauh dari harga jual yang dipatok oleh perusahaan-perusahaan swasta nasional,seperti Go Gas dan Blue Gas yang menjualnya sesuai dengan harga keekonomian. Kalau kondisi itu dibiarkan, menurut analisa Sofyan Zakaria, Pertamina masih tetap mengsubsidi pengguna elpiji 12 kg sebesar 2 trilun/tahun.

Selain, rekomendasi dari BPK tersebut, ada dua hal penting lain yang melatabelakangi Pertamina melakukan kebijakan menaikan elpiji nonsubsidi (12 dan 50 kg) kali ini, yaitu; 1) paska kenaikan Rp.1.000,- pada Januari 2014 Pertamina ternyata masih menangguk rugi sebesar 5, 4 Triyun. Dan akan semakin besar lagi, bila bahan baku dan kurs melambung. 2) potensi pengguna elpiji 12 kg ke depan akan lebih banyak lagi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Kerugan demi kerugian yang dialami Pertamina selaku BUMN tentu akan berdampak pada kerugian yang harus ditanggng oleh Pemerintah. Oleh karena itu, langkah antisipatif dengan jalan menaikan harga bukan langkah berlebih. Terlebih, meski pun naik, harga elpiji tabung biru masih di bawah harga elpiji di bergai negara lain di Asia. Berdasarkan data dari World LP Gas Asosiation di India harga elpiji sudah mencapai Rp. 12.000,-/kg, di Filiphina sudah menembus angka Rp. 24.000.-/kg, sedang di Jepang dan China sudah mencapai kisaran angka Rp. 20.000,-/kg. Sementara di Indoesia masih berada di level Rp. 7.700-14.200.

Belum lagi, menurut survei yang dilakukan Nielsen, pengguna elpiji non-subsidi hanya 17% dari total konsumen elpiji dengan penggunanya 16% rumah tangga di perkotaan, dan 6% di pedesaan. Masih menurut Nielsen konsumen elpiji nonsubsisi masyarakat menengah ke atas, dengan penghasilan cukup tinggi, yaitu berkisar Rp. 4,4 sampai 1,6 juta/bulan. Penulis kira, secara ekonomi mampu menjangkaunya dan secara pendidikan mereka seharusnya bisa menerima fakta dan data yang ada.

PELAJARAN DARI NAIK NYA ELPIJI

Dari data dan fakta di atas, seharusnya semua bisa memaklumi akan kenaikan harga elpiji non subsidi. Apalagi untuk sampai ke dapur rumah tangga atau rumah makan, elpiji harus melalui 8 titik mata rantai distribusi yang harus dijaga kualiatas dan layanannya. Dari sumber suplai LPG, diangkut ke depo/ terminal lalu di simpan di sana. Dari terminal diangkut ke stasiun pengisian. Di situlah, elpiji di kemas dalam bentuk tabung. Sebelum di distribusikan ke agen, tabung-tabung tersebut di tes terlebih dulu. Baru setelah dirasa aman, tabung-tabung itu di bawa ke agen-agen untuk kemudian dipasarkan ke konsumen terakhir. Panjangnya jalur tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikir.

Meski begitu, permasalahan pro dan kontra yang ada seharusnya disikapi bijak oleh semua pihak agar masalah yang ada akan memberi berkah bukan musibah. Semua harus saling instropeksi dan membenahi diri. Saling menerima untuk kebaikan bersama.Pelajaran pentingkhususnya bagi Pertamina selaku korporat, Pemerintah selaku pemangku kebijakan, dan rakyat selaku konsumen. Pelajaran untuk melakukan pembenahan demi pembenahan.

Bagi Pertamina

ØMenindak tegas segala bentuk penyelewengan Penggunaan elpiji. Sesuai dengan pengalaman yang ada, setiap ada isu kenaikan elpiji nonsubsidi konsumen banyak yang beralih dari 12 kg ke 3 kg. Dan itu tidak boleh terus terjadi. Selain merugikan rakyat miskin, sebab jatah mereka direbut, juga adanya kebocoran subsidi. Pertamina harus segera menutup “rembesnya” tabung hijau ke tangan konsumen tabung biru. Salah satu cara adalah dengan melakukan amanat peraturan menteri ESDM No 26 Tahun 2009, yakni mendistribusikan elpiji 3 kg dengan cara tertutup. Selain itu, sangat baik bila Pertamina melakukan pendataan ulang terhadap pengguna tabung 3 kg, sehingga mendapatkan jumlah yang lebih valid, guna merumuskan jumlah produksi dan pendistribusianya.

Pertamina bekerja sama dengan aparat dan lembaga penegak hukum lainya juga harus bertindak lebih tegas terhadap agen-agen yang melakukan tindakan pelanggaran hukum, seperti penimbunan elpiji dan penyuntikan tabung 3 kg dipindah ke 12 kg dan 50 kg.

ØMemberi layanan yang prima kepada konsumen. Sebetulnya, bagi msyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas, masalah harga bukan hal krusial yang mesti diperpanjang. Namun yang lebih krusial adalah ketersedian dan pelayanan. Oleh karena itu, selain melakukan penyesuaian harga juga harus melakukan peningkatan mutu tabung, mutu layanan, dan menjamin ketersedian. Dengan peningkatan tersebut, penulis rasa Pertamina bisa mencuri konsumen pengguna elpiji dari perusahaan lain dan bisa bersaing dengan perusahaan swasta nasional.

ØMeningkatkan Komunikasi. Sebelum dan sesudah ada kenaikan khususnya, Pertamina selaku korporat, lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas jalinan komunikasi dua arah dengan para konsumen.

Pemerintah

ØMenjaga kebocoran Anggaran. Subsidi memang terkesan hanya memberatkan dan memboroskan APBN, terlebih bila subsidi itu jatuh ke tangan pihak-pihak yang sebetulnya tidak layak untuk menerima.Namun sebetulnya, bila tidak ada kebocoran dianggaran tentu pemerintah sanggup untuk mensubsidi. Tentu biang semuanya adalah sikap korup dari oknum-okmum pejabat diragam tingkat. Hal itu juga diperparah oleh para pebisnis nakal yang selalu “mengail” keuntungan lewat jalur perdagangan hitam. Oleh karena itu, Pemerintah harus segera membenahi kebocoran anggaran, baik dari sikap korup pejabat dan para pebisnis nakal.

ØMenata kembali pengelolaan sumber-sumber energi alam yang dimiliki bangsa ini. Perjanjian-perjanjian tentang pengelolaan sumur-sumur gas yang selama ini diserahkan kepada pihak luar sudah saatnya untuk ditinjau ulang. Selanjutnya pemerintah berusaha bagaimana agar perjanjian itu dapat menguntungkan bangsa ini. Apalagi bila bisa dimiliki oleh negara dan ditangani oleh para anak-anak bangsa sendiri, meskipun mungkin masih harus mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri.

ØMembangun infrastrukur. Mungkin lonjakan harga di tingkat agen masih terukur. Namun lonjakan harga ditingkat konsumen yang tersebar di berbagai kota nusantara tentu akan sangat variatif dan tak bisa dikendalikan harganya. Meski begitu, konsumen diharap memaklumi dengan satu argumen klasik, yaitu tidak adanya infrastruktur yang memadai, seperti sarana transportasi dan akses jalan.

ØBerhemat. Tentu tak etis bila pemerintah merasa berat membantu rakyat sementara perilaku pemerintah sendiri mempertontonkan sikap pemborosan terhadap hal-hal yang menyangut kepentingan para pejabatnya. Bila menganjurkan untuk hidup hemat laiknya pemerintah berani memberi teladan. Merasa terbebani dengan subsidi tapi dilain sisi ada pemborosan anggaran yang tidak memihak rakyat. Saya kira rakyat siap hidup prihatin asalkan pejabat juga berbuat demikian.

Konsumen (Rakyat)

ØBerhemat. Kenaikan harga elpiji seberapa pun besarnya tentu akan menambah pengeluaran. Tapi dengan adanya kenaikan tersebut, bukan berarti semua kiamat, sehingga patut menghujat sana sini. Bila kita bisa menyadari bahwa kenaikan itu hanya perlu untuk disikapi. Salah satunya adalah dengan berhemat. Tentu bukan dengan mematikan kompor sebelum masakan matang, tapi dengan memotong atau menghemat pengeularan-pengeluaran yang sebetulnya berlebih atau bahkan tidak perlu. Bagi seorang ayah yang merokok misalnya, yang biasanya sehari habis satu bungkus, bisa diulur menjadi dua hari. Mungkin terasa berat, tapi dengan bertahap dan niat kuat semua teratasi. Bagi ibu yang suka ngobrol lama lewat seluler, tentu sangat baik bila dikurangi durasinya atau dijarangkan ngobronya. Diganti dengan bersilaturahmi secara langsung.

ØBersyukur dan Jujur. Sebetunya seberapa pun besarnya pendapatan seseorang per bulan, bila tanpa adanya rasa syukur maka akan terasa kecil, terasa tidak akan mencukupi kebutuhan. Namun ketika rasa syukur telah tumbuh subur, maka semua akan terasa ringan, karena ketakutan-ketakutan akan adanya beban dan ketidakadanya ketercukupan secara otomatis terkubur dalam sebuah sikap syukur tersebut. Dan dari syukur itu pun muncul kejujuran diri, sehingga tidak mau menyikapi kenaikan tersebut dengan membabi buta, dengan menyerobot sesuatu yang bukan haknya, yakni berpindah ke tabung subsidi yang bukan jatahnya.

ØMenumbuhkan sikap kreatif. Munculnya ide-ide kreatif seperti biogas dari limbah kotoran hewan dan manusia dan alat-alat penghemat elpiji tentu bila dilihat lebih jauh tak lepas dari adanya masalah kenaikan dan kelangkaan elpiji.

Semoga uraian di atas, mampu merubah masalah kenaikan elpiji 12 dan 50 kg menjadi sebuah berkah bagi semua pihak. Sebab, sebetulnya tak ada satu masalah pun yang mendatangkan musibah sepanjang kita berhasil meluruskan cara pandang dan berani menyikapi dengan bijak. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun