sebuah catatan kecil tentang makanan dan antri
Saya harus tinggal di kota kecil di Jawa Barat, Cirebon untuk kepentingan kerja saya. Ada beberapa tempat yang dijadikan sebagai pemuas lapar di sore atau malam hari jika Anda berada di Kota Cirebon. Tempat-tempat yang saya sebutkan ini bisa jadi sangat terkenal, terkenal atau biasa saja bahkan bisa jadi tak banyak orang yang tahu. Tempat tempat ini mulai rame sekitar jam lima sampai sepuluh malam setiap harinya.
Kentang goreng otak otak SMANDA adalah salah satu kentang goreng yang terkenal di kota Cirebon, berlokasikan di samping gerbang SMAN 2 Kota Cirebon di jalan Cipto Mangunkusumo Kota Cirebon. Lapak yang saat ini sudah berubah menjadi mobil penjajah kentang ini sangat terkenal, terutama bagi kalangan pelajar dan mahasiswa. Katanya sih enak.
Tempat yang kedua, ramai dibincangkan bagi para karyawan muda, anak muda dan mahasiswa juga tak jarang keluarga muda adalah Nasi Kucing di daerah pasar Kanoman Kota Cirebon. Tempatnya memang ramai dan selalu penuh.
Dan terahir adalah nasi kuning yang berlokasikan di dekat rel kereta api dekat stasiun Prujakan di daerah Kesambi kota Cirebon. Pedas sambal yang ditawarkan di nasi kuning ini sedikit ‘kurang ajar’ pedasnya. Bedanya, perlu menunggu matahari benar-benar tenggelam untuk menemui nasi berwarna kuning ini.
Yang menarik dari ketiga tempat tersebut adalah: Budaya Antri. Jangan harap anda akan segera dilayani kalau situasi sedang penuh-penuhnya karena ditempat tersebut tidak berlaku yang datang duluan dia dilayani. Tapi siapa yang punya suara keras dan menjengkelkanlah yang dilayani duluan.
Bukan maksud menjelek-jelekan. Fakta ini masih bisa ditemui beberapa minggu terahir sebelum bulan Ramadan tahun 2013 ini. Atau saya jadi curiga, bisa jadi ketidakteraturan dalam mengantri inilah yang menjadikan tempat ini sangat padat, terlihat selalu penuh dan menggiurkan untuk dicoba makanannya.
Budaya ngantri memang mahal yah. Pernah saya mengajak teman untuk jajan kentang goreng smanda, namun karena dia tak mau ikut “antri” alias dia tak mau ikut berteriak dan memperjuangkan suaranya, jadi kami membeli kentang goreng di depan CSB (beberapa ratus meter dari SMAN 2) yang memang rasa kentang goreng dan otak-otaknyanya tak jauh berbeda dengan yang di smanda.
“Saya tak mau menggantungkan harapan dan keinginan saya dengan sistem mengantri yang carut marut itu. Ya iya, kan? Itu cermin. Bahwa ngantri saja susah. Apalagi yang lain…” komentar teman saya.
Sembari menikmati otak-otak dan kentang goreng tersebut, otak saya berputar, apakah saya juga akan mengajak dia ikut “mengantri” di nasi kuning atau nasi kucing?? mengingat sore itu saya sangat kelaparan karena harus lembur kerja sampai sore dan melewati makan siang saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H