Mohon tunggu...
mohammad mukit UJ
mohammad mukit UJ Mohon Tunggu... -

JOmlo

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Moh. Mukit Alumni PP Al Jalaly

14 Juli 2010   14:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:52 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melek agama tentu saja baik belaka. Persoalannya adalah melek agama diikuti dengan hilangnya nalar dalam beragama. Hilangnya nalar beragama itu terlihat dari kebiasaan masyarakat Muslim yang selalu ingin mencari pendasaran doktrin agama atas segala sesuatu. Mereka menganggap bahwa secara verbal agama bisa memberi solusi terhadap segala sesuatu. Ada fenomena scripture minded dalam beragama

Pendidikan agama pada sekolah di Indonesia sejatinya adalah upaya untuk menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat. Tujuan pendidikan agama ini tertuang secara eksplisit dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Belakangan, tujuan mulia itu tercoreng oleh dampak negatif dari sistem pendidikan agama yang berlaku di sekolah-sekolah selama ini. Terorisme dan gejala fundamentalisme agama adalah bukti kegagalan pendidikan agama menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat. Pendidikan agama justru menyuburkan konservatisme dan radikalisme.

Diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL) mengupas sejumlah persoalan yang melingkupi pendidikan agama di Indonesia. Acara ini diselenggarakan di Teater Utan Kayu, 25 Mei 2010. Pdt. Albertus Patty dan Ulil Abshar-Abdalla hadir sebagai pembicara.

Diskusi yang dipandu oleh Abd. Moqsith Ghazali ini diawali dengan pemaparan sejumlah persoalan dalam pendidikan agama. Moqsith mengemukakan sejumlah hasil penelitian tentang meningkatnya gerakan radikalisme agama di lingkungan sekolah. Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga menunjukkan bahwa lebih dari 80% kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan agama berpotensi mengarahkan anak didik menjadi radikal dan konservatif. Agama yang diajarkan pada pendidikan adalah agama yang mengabaikan eksistensi agama lain. Pendidikan semacam ini berbahaya bagi masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Alih-alih mengajarkan sikap saling menghormati dan menghargai, pendidikan agama justru menjadi dakwah kebencian terhadap kelompok dan agama lain.

Albertus Patty membenarkan adanya ajaran pembenaran diri sendiri yang pada akhirnya mengarahkan kepada kebencian terhadap yang lain dalam pendidikan agama. Patty mengurai dua persoalan besar dalam pendidikan agama: persoalan teologi dan politik. Pada ranah teologi, menurut Patty, sudah sejak awal agama-agama besar yang ada di Indonesia sekarang ini datang dengan tujuan untuk menyebarkan misi keagamaan. Misi keagamaan itu dilakukan berdasar kepada keyakinan bahwa hanya ajaran agama yang mereka bawalah yang paling benar, semua yang lain harus ikut.

Kristen masuk ke Indonesia dengan semangat untuk mengubah masyarakat Indonesia memeluk kekristenan. Menurut Patty, apa yang disebut sebagai Kristen sesungguhnya tidak tunggal. Misi Kristenisasi tidak hanya ditujukan kepada masyarakat non-Kristen, melainkan juga antar-sesama Kristen. Klaim kebenaran hanya milik kelompok sendiri yang mendasari misi Kristenisasi, baik untuk kalangan luar Kristen maupun kalangan dalam Kristen sendiri. Asumsi semacam itu masih terus terbangun di masyarakat Kristen dan agama secara umum di Indonesia. Dan itu pulalah yang terus dilembagakan dalam bentuk pendidikan agama pada sekolah.

Pada ranah politik, persoalan harmoni antar-masyarakat dirusak oleh politik segregasi. Selama tiga puluh tahun, stigma mengenai Partai Komunis Indonesia, menurut Patty, menyebabkan masyarakat saling mencurigai dan memusuhi. Politik pengharaman terhadap isu SARA juga menjadikan masyarakat Indonesia terkotak-kotak tanpa bisa saling memberi tempat.

Belakangan, muncul sejumlah peraturan perundang-undangan yang melembagakan segregasi dan pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan agama. UU PNPS, UU Sisdiknas, UU No. 1 1974 tentang larangan perkawinan beda agama, dan sejumlah Perda menjadikan masyarakat Indonesia terkotak-kotak dan terus menerus berada dalam ketegangan rasial.

Ulil Abshar-Abdalla mengemukakan fenomena peningkatan melek agama di kalangan masyarakat. Melek agama tentu saja baik belaka. Persoalannya adalah melek agama diikuti dengan hilangnya nalar dalam beragama. Hilangnya nalar beragama itu terlihat dari kebiasaan masyarakat Muslim yang selalu ingin mencari pendasaran doktrin agama atas segala sesuatu. Mereka menganggap bahwa secara verbal agama bisa memberi solusi terhadap segala sesuatu. Ada fenomena scripture minded dalam beragama.

Scripture minded bermasalah karena seolah-olah al-Quran memiliki solusi untuk semua persoalan. Ketika al-Quran berbicara tentang sesuatu, maka segala persoalan dianggap selesai. Matinya nalar di dalam kehidupan beragama menjadikan Kitab Suci seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saja.

Menurut Ulil, pendidikan agama di Indonesia mengambil pendekatan scripture minded. Alih-alih diajak untuk menalar, anak didik justru dipaksa menghafal. Ulil menceritakan sebuah buku ajar yang diajarkan di sebuah sekolah. Buku ajar agama itu sebetulnya berisi ajakan untuk beragama secara toleran dan terbuka. Persoalannya ada pada pendekatan yang ia gunakan. Buku itu selalu mencari pendasaran dalam al-Quran dan hadits untuk semua argumen yang ia kemukakan. Kesimpulannya mungkin baik, tetapi pendekatan yang ia gunakan bermasalah. Masalahnya adalah karena kebenaran sebuah argumen selalu diukur pada apakah ada dasarnya dalam Kitab Suci, bukan berdasarkan penalaran atau logika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun