HARI ini adalah hari pertama di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam perspektif agama, hari ini merupakan tangga ketiga bulan Ramadhan yang sangat bernilai.  Ia jadi momentum penting hadirnya sebuah malam  yang disebut Lailatul Qadar.
Apa itu Lailatul Qadar? Secara letterlijk, ia bermakna malam ketetapan. Maka kemudian kita dianjurkan meminta apapun kebutuhan kita kepada-Nya. Surat Al-Qadr menggambarkan pangkat malam itu lebih baik dari 1000 bulan, sebuah periode yang dalam batas rasionalitas manusia tentu sangat jarang dicapai. Sebab, kalau dikonversi ke dalam hitungan tahun, sama dengan masa 83 tahun. Padahal usia rata-rata umat Nabi Muhammad hanya berkisar 60-70 tahun. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah, diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.).
Besarnya reward di 10 hari terakhir Ramadhan ini kemudian memotivasi umat Islam berbondong-bondong menunggunya. Bahkan Nabi sendiri ketika masuk 10 terakhir Ramadhan, mengencangkan sarung, menghidupkan malam, dan membangunkan keluarganya. Secara substantif, mengencangkan sarung ini bermakna mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh untuk membangun spritualitas vertikal. Pada waktu-waktu tersebut, Nabi memgenyampingkan spritualitas horizontal.
Lalu apa yang bisa dicatat dan dilakukan dalam 10 malam terakhir tersebut? Jawabnya adalah i'tikaf. I'tikaf berasal dari bahasa Arab 'akafa yang berarti menetap, mengurung diri, atau terhalangi. Namun menetap dan berdiam diri di sini bukan berarti hanya "duduk manis" untuk sekadar menghabiskan malam. I'tikaf dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan begitu, ia kemudian diisi dengan ritus-ritus seperti berdzikir, berdoa, membaca Al Quran dan seterusnya.
Momentum Perenungan
Jika kita renungkan lebih jauh, makna i'tikaf sejatinya bisa jauh lebih dari sekadar diam atau sekedar berdoa dalam rangka memenuhi tuntutan sekaligus tuntunan agama. I'tikaf juga memiliki arti perenungan diri, muhasabah an-nafs, termasuk upaya pembersihan diri dari noda-noda duniawi.
Perenungan diri dalam konteks ini adalah melupakan sementara kehidupan duniawi dan fokus pada hubungan kita dengan Sang Rabb, hubungan kita dengan pencipta kita. Alasannya karena momentumnya sangatlah tepat. Inilah setidaknya momentum perenungan keummatan kita.
Dengan begitu, makna i'tikaf bisa melampaui penerjemahan dalam perspektif agama. Ia juga bisa masuk ke wilayah-wilayah kebangsaan, termasuk dunia sosial, politik, budaya, dan ekonomi. I'tikaf merupakan perenungan seseorang tentang kehidupannya, tentang hari-harinya yang telah dilalui. Dengan begitu, i'tikaf juga bisa bermakna kontemplasi untuk melepaskan diri dari noda, dari duri-duri masa lalu.
Dalam konteks kebangsaan, maka perenungan yang dilakukan menyangkut berbagai aspek kehidupan kita secara menyeluruh, multi aspek. Mu'takif (orang yang beri'tikaf) mesti menghidupkan kembali alam pikirannya tentang situasi politik, situasi sosial, dan fenomena kebangsaan hari ini. Para mu'takifin juga sebagai konsumen politik melakukan perenungan dengan melihat secara jernih isu-isu politik, kemudian mencoba menawarkan ide-ide dan gagasan yang bisa jadi solusi.
Bagi mereka para politisi, baik di Senayan ataupun di Istana, perenungan ini perlu lebih mendalam karena mereka menggenggam policy, kebijakan negeri ini. Merekalah sejujurnya pengendali arah bangsa yang berpengaruh terhadap masyarakat banyak. Jika dalam genggaman mereka, politik salah arah, dipastikan dampaknya amatlah buruk.
Bagi aparat hukum, i'tikaf juga sangat penting untuk menelisik kembali sejauh mana hukum kita hari ini berjalan. Apakah masih penuh dengan tipu-tipu, misteri, pesanan, permainan dan sebagainya, yang banyak dituduhkan publik kita? Ataukah sudah bersih dan betul-betul memenuhi visi Kapolri, yakni profesional, modern, dan terpercaya (Promoter)? Begitu pun dengan KPK dan kejaksaan, apakah masih penuh dengan kriminalisasi, tebang pilih, dan jadi alat kekuasaan, seperti penilaian publik selama ini?