SESAAT setelah sampai di ruang kerjaku, di Nusantara I DPR, tadi siang, aku sungguh dikagetkan dengan informasi dari seorang kawan. “Habib Rizieq udah tersangka, Bro,” ujarnya.
Menanggapi itu, aku hanya berceloteh kepada temanku, “Apa bukti polisi? Masa ya chat begitu saja bisa jadi alat bukti? Masa ya HRS (Habib Rizieq Syihab) yang enggak tahu masalahnya dan belum pernah diminta klarifikasi sudah jadi tersangka? Ah sudahlah,” ujarku.
Tapi jika kita renungkan, praktik hakim-menghakimi, bahkan vonis-memvonis sudah menjadi semacam tradisi masyarakat kita beberapa waktu belakangan ini. Ia terjadi seperti mengalir saja di negeri ini tanpa ada pihak-pihak yang mencoba menghentikan.
Memang, dalam contoh kasus HRS, ia menyandang status baru sebatas tersangka. Dan, itu berarti kita mesti mengedepankan “presumption of innocence” alias praduga tak bersalah sehingga pengadilan menyatakan bersalah. Namun dalam benak sebagian masyarakat kita, terutama yang banyak tersebar di media sosial, dengan status ini, HRS sudah seperti benar-benar ditempatkan sebagai “tervonis” bersalah dan melakukan perbuatan tidak senonoh.
Tidak hanya di media sosial. Beberapa kalangan pun sudah yakin jika HRS melakukan praktik asusila itu. Salah satunya SS. Seorang kolega yang dikenal “intelektual” itu pun, langsung menganggap penetapan status tersangka polisi itu sebagai “kebenaran”. Bagi dia, yang notabene pendukung Ahok itu, HRS sudah benar-benar melakukan perzinahan. Naudzubillah!
Pun bagi sebagian umat Islam yang “polos”. Mereka akan shock mendengar status HRS dari aparat tersebut. Meskipun tentu, bagi sebagian lainnya, terutama yang mengetahui secara detil sosok HRS dan tahu sebenarnya siapa sosok Firza Husein hanya akan “geleng-geleng kepala”. Apalagi setelah membaca Sumpah Mubahalah HRS yang beberapa waktu lalu beredar luas di sosial media melalui akun facebook MS FPI Banten. Dalam sumpah itu, HRS berujar, “Demi Allah, Alhamdulillah, sejak saya memasuki usia taklif hingga saat ini, saya tidak pernah mencuri, merampas, merampok, membunuh, berjudi, menenggak miras, sodomi atau pun berzina. Jika saya berdusta maka laknat Allah SWT atas diri saya. Dan jika saya benar, maka mereka yang memfitnah saya dan tidak bertaubat akan dilaknat oleh Allah SWT di Dunia dan Akhirat.”
Tradisi menghakimi dan vonis ini juga terlihat dalam pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Jubir HTI Ismail Yusanto sudah berulang kali menyatakan pihaknya tidak pernah diminta pemerintah untuk menyampaikan klarifikasi tentang organisasinya, termasuk juga ideologinya. Ismail menganggap HTI diperlakukan tidak fair, karena langsung “divonis” organisasi radikal yang anti-Pancasila dan anti-NKRI. Bukankah selama ini HTI hanya menyuarakan tegaknya syariat Islam di bumi pertiwi ini? Tidakkah pemerintah telah terjebak dalam vonis tanpa proses tabayyun terlebih dahulu?
Puasa Prasangka
Menjaga pikiran dari prasangka yang tidak baik, termasuk di antaranya menghakimi bahkan memvonis orang lain melakukan suatu kejahatan adalah sesuatu yang niscaya dilakukan. Ini tidak lain karena sebagian dari prasangka itu dosa.
Apalagi di tengah bulan suci Ramadhan ini. Dalam konteks ini, Ramadhan bukan hanya bermakna menahan lapar dan dahaga saja, tetapi juga menjaga pikiran agar selalu on the track. Pikiran kita tidak boleh terbawa dan terjebak dalam berbagai fenomena sosial yang sarat dengan social engeneering (rekayasa sosial).
Dalam konteks sosial, kerap kali kita dihadapkan dengan suatu persoalan yang tak benar-benar kita ketahui kebenarannya. Sehingga kita hanya mampu menerka dalam dua pilihan: hoax atau asli; benar atau bohong.