Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Mana Tuhan dalam Kasus Ahok?

12 Mei 2017   16:41 Diperbarui: 12 Mei 2017   17:00 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Sometimes we win, sometimes we learn.. May God always be with you sir, you will never walk alone.. #Ahok," kata @William_KS melalui Twitter.

Di Mana Tuhan?

Ada kelaziman bahwa manusia dalam kondisi kepepet akan menyebut-nyebut Tuhan. Ia akan melibatkan peran Tuhan, terutama ketika rasionalitas manusia sudah tak mampu lagi menyelesaikan persoalan yang dialami. Logika Ketuhanan yang tak terjangkau logika kemanusiaan menjadi salah satu pertimbangannya.

Salahkah yang demikian itu? Justru itulah yang mesti dihadirkan manusia dalam pengalaman-pengalaman kesehariannya guna mendatangkan kesadaran-kesadaran universal tentang peran Tuhan. Bahwa Tuhan mboten sare (tidak tidur), Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan juga Maha Adil.

Upaya menghadirkan Tuhan ini sebagai bentuk kerinduan manusia yang bersifat imanen kepada Pencipta yang transenden. Dan, inilah ciri-ciri kaum beragama yang selalu melandaskan gerak-geriknya kepada Tuhan Semesta Alam. Ciri ini jauh berbeda dari kaum Atheis yang menyebut-nyebut dirinya tidak bertuhan (meskipun dalam sebagian pandangan disebutkan bahwa sejatinya tak ada manusia yang tidak ber-Tuhan, karena ketika dalam kondisi terdesak, mereka akan mencari kekuatan-kekuatan di luar dirinya, di luar nalar individu. Mereka mencari tuhan (t) untuk menemukan Tuhan (T).

Bagi umat Islam, gema-gema takbir yang dikumandangkan dalam setiap Aksi Bela Islam (1, 2, dan seterusnya), atau dalam setiap majelis-majelis dzikir yang selalu dikumandangkan, terutama misalnya oleh Habib Rizieq Syihab dengan teriakan “Takbir!” lalu disambut dengan “Allahu Akbar”, adalah manifestasi dari kerinduan ini. Umat Islam merasa hanya peran Tuhanlah yang mampu menjungkalkan kesombongan manusia yang ditopang dengan berbagai skenario Insani. Umat Islam terlihat membutuhkan skenario Rabbani untuk melawan skenario produk manusia. Aksi penuh harap akan skenario Rabbani ini terlihat dalam Aksi 212, yang ‘hanya’ melakukan doa dan shalat Jumat di Silang Monas dan sekitarnya.

Lalu, di mana posisi Tuhan sebenarnya dalam kasus Ahok? Jawaban dari pertanyaan ini tentu menjadi sangat relatif, karena penilaiannya tidak berpijak pada wilayah hakikat. Jika mengikuti ajaran kaum Relativism, maka yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, yang dianggap dekat dengan ajaran tuhan dan jauh dari ajaran tuhan tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. (Mangunhardjana, 1997. 203-206), yang banyak dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.

Jika Relativisme yang jadi dasar berpikir kita, akan sulit ditemukan di mana kita, posisi kita, dan tuhan kita, terutama di saat kita harus menentukan dua pilihan: baik dan buruk. Maka kesimpulan sementara yang muncul adalah bahwa dalam Tuhan, termasuk dalam kasus Ahok, ada dalam pikiran kita masing-masing. Tuhan bersama rasionalitas dan naluri kemanusiaan kita?

Kendati begitu, Islam tidak membiarkan rasionalitas manusia berdiri sebagai avant garde yang menyetir, mengendalikan, mengontrol kehidupan kita. Meski dalam batas tertentu, rasionalitas manusia sangat dibutuhkan, tetapi ia tetaplah dibatasi oleh kebertuhanan, kepercayaan, dan keyakinan manusia, sebagai pintu membangun kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, akal tak lebih hanya sebagai penunjang awal untuk melihat di mana kita dan posisi Tuhan kita. Setelah itu, kita akan dihantarkan pada apa yang disebut shautu adh-dhamiir(hati nurani) melalui qalb (hati).

Oleh karenanya, dalam satu kesempatan Nabi Muhammad SAW, pernah berpesan jika kita ambigu dalam menentukan sesuatu, baik dan buruknya, maka mintalah fatwa pada hati kita, karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa” (HR. Ahmad no.17545, Al Albani dalam Shahih At Targhib [1734] mengatakan: “hasan li ghairihi“).

Maka, Tuhan tidak berdiri dalam rasionalitas kita, melainkan dalam hati sanubari kita. Tuhan juga tidak alenggi(Madura: duduk) dalam perasaan manusia, tetapi dalam ajaran-ajaran ketuhanannya yang diajarkan kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul-Nya dan juga melalui kitab-kitab Samawi yang mengajarkan Monoteisme, yakni Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Quran. (Lihat: Qs. 47: 33 dan Qs. 64: 12).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun