RAJA Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz Al Saud resmi berkunjung ke Indonesia awal Maret ini. Beberapa media Saudi Arabia menyebut kunjungan ini sebagai “Kunjungan terhadap Saudara”. Sementara di Indonesia, sebagai tuan rumah, kunjungan ini disambut begitu hangat, gegap gempita, dan penuh antusiasme.
Bahkan kehebohan, kemeriahan, dan hiruk pikuk kedatangan Sang Raja sudah terdengar sejak sekitar satu bulan terakhir. Salah satu penyebabnya, karena kunjungan ini tergolong megah dan mewah. Bukan saja peserta rombongan yang mencapai 1500 orang, tapi berbagai fasilitas serba mahal juga disiapkan. Bahkan tangga eskalator untuk naik-turun dari pintu pesawat juga dibawa dari negeri haramain itu.
Kekuatan media massa mempublikasi berbagai pesona para pengeran yang mengiringi Sang Baginda Raja juga menyedot perhatian kaum hawa. Plus media sosial yang dengan secepat kilat mengabarkan berbagai informasi, juga tak bisa dikesampingkan, telah menarik jutaan anak-anak bangsa untuk ikut menjadi bagian dalam kemeriahan ini.
Kini Sang Raja sudah tiba di Tanah Air. Ia sudah merasakan deras hujan, barangkali juga dinginnya Istana Bogor. Di hari kedua dalam lawatannya, ia juga sudah mengunjungi kompleks Parlemen Senayan dan Masjid Istiqlal.
Gegap Gempita
Sambutan riuh pecah ketika pada Rabu (1/3/2017) siang, Raja Salman mendarat di Bandara Halim Perdana Kusumah. Anak-anak bangsa rela berdiri berjam-jam di kawasan bandara itu dan di beberapa titik di kota Bogor untuk menyambut kedatangannya dengan berbagai sambutan sembari melambaikan bendera Indonesia dan Saudi Arabia.
Kenapa anak-anak bangsa, khususnya umat Islam gegap gempita menyambut Sang Raja? Bahkan ada yang menyambut secara histeris dan emosional? Tidak lain salah satu alasannya karena kesamaan ideologis, selain Sang Raja merupakan penjaga dua kota suci yang jadi obyek wisata relijius umat Islam: Mekah dan Madinah.
Kunjungan yang serba mewah dan megah tentu menjadi magnet tersendiri. Tetapi kesamaan ideologi di tengah situasi politik yang cenderung menyudutkan umat Islam Indonesia dewasa ini tak bisa dinafikan dan cukup berpengaruh terhadap reaksi umat Islam dalam menyambut Raja Arab Saudi. Umat Islam yang mayoritas di negeri ini justru seperti kaum periferal yang terpinggirkan. Berbagai fitnah dan tuduhan dialamatkan pada Islam: Anti-Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, rasis, bahkan hingga anti-NKRI.
Bahkan ada yang menuduh kelompok-kelompok Islam tertentu, terutama yang banyak bergabung dalam Aksi Bela Islam (ABI I, II, III, dan seterusnya) bersama GNPF MUI ingin mengislamkan Indonesia, sebuah tuduhan phobia yang berlebihan. Aksi demonstrasi terbesar dalam sejarah bangsa itu terjadi karena ada ketidakadilan, bukan karena kebencian atau penolakan dan perlawanan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Tapi rupanya, meskipun tidak cukup punya dasar yang kuat, tuduhan-tuduhan itu cenderung dianggap benar. Tak kurang dari seorang ketua umum partai seperti Megawati Soekarnoputri yang menuduh umat Islam di Indonesia sudah memecah belah bangsa. Bahkan Megawati memojokkan Islam yang disebutnya “kearab-araban”. Dalam sambutannya pada peringatan HUT ke-44 PDIP di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, 10 Januari 2017, Megawati berujar, "Kalau kamu mau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau kamu mau jadi orang Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau kamu mau jadi orang Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini." Apakah Megawati menganggap Arab sebagai agama?
Tidak cukup sampai di situ. Dengan nada nyinyir, Megawati menyebut umat Islam sebagai penganut ideologi tertutup yang memicu isu konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Mereka juga, kata dia, memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula. Bagi mereka, tuduh Megawati, teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan. Mereka kata Megawati, bertentangan dengan Pancasila.