Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tinggal hitungan hari. Banyak cara yang dilakukan oleh para caleg maupun capres untuk memperoleh simpati rakyat, salah satu cara yang dilakukan mereka adalah melalui iklan politik. Namun akankah iklan politik dapat berpengaruh terhadap khalayak seperti yang mereka harapkan ? Menurut McNair (2011:34) iklan politik boleh jadi memperteguh sikap dan perilaku politik yang ada, namu jarang mengubahnya. Efek iklan politik berbanding terbalik dengan pengetahuan khalayak mengenai partai atau kandidat yang diiklankan. Sekali citra kandidat telah terbentuk di benak khalayak, informasi baru sulit untuk menghasilakn perubahan.
Jika kita cermati dinamika media massa saat ini yang seharusnya sebagai instrument control terhadap opini publik kini berubah menjadi penguasa publik, media massa menjadi kendaraan utama berpolitik. Melaluiiklan politiknya, para politisi dapat mempresentasikan visi dan misi yang mengarah terhadap partainya sendiri. Tidak hanya itu, melalui karya reportase, karya investigasi dan opini, media massa dapat berperan sebagai wahana untuk “mensucikan” isu negatif yang tengah berkembang dan sekaligus menjadi alat untuk melakukan black campaign.
Dramaturgi
Jika menggunakan analisis dramaturgi Erving Goffman (1922) dikatakan bahwa di dalam semua interaksi sosial ada yang namanya panggung depan dan juga panggung belakang. Seseorang yang berada di panggung depan memiliki sikap yang berbeda ketika berada di panggung belakang. Mereka dapat berganti-ganti peran sesuai dengan kondisi mereka. Apa yang mereka lakukan di panggung depan berbeda ketika mereka berada di panggung belakang. Dalam kondisi perpolitikan yang ada saat ini, tampaknya masih relevan untuk dikaji dengan menggunakan analisis dramaturgis ini.
Perpolitikan yang ada di Indonesia juga tak lebih dari sekedar permainan panggung depan belaka. Iklan ditampilkan semenarik mungkin dengan menampilkan wajah yang menawarkan kesejahteraan hidup. Ironi muncul ketika sang pemenang telah berhasil menduduki kursi pemerintahan. Bagi mereka yang telah duduk di bangku pemerintahan. Sudah saatnya bagi mereka untuk memulai panggung belakang. Dengan berbekal panggung depan mereka telah berhasil mencuri hati rakyat. Dan ketika panggung belakang telah dimulai, barulah rakyat tahu bahwa mereka telah tertipu. Rakyat yang kecewa akhirnya marah, mereka melakukan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasinya. Namun sayang, ternyata sang pemerintah memiliki pasukan khusus yang siap menghajar rakyat yang protes. Ketika sang pemenang sedang sibuk berbagi kursi dan jabatan kepada anak buahnya. Rakyat sedang kelaparan, sengasara dan terbiarkan nasibnya.
Untuk itu, Presiden SBY dalam bukunya “Selalu Ada Pilihan“ menulis bahwa sebenarnya semua penampilan dan pembawaan diri seperti itu sah adanya. Tidak ada yang melarang. Numun jika berlebihan justru Anda dianggap sebagai orang yang pandai bersandiwara.Segala apa yang Anda pakai dan lakukan dicurigai sebagai pencitraan. Atau mungkin hanya sekadar menjalankan nasihat dan skenario tim pencitraan Anda. Untuk Presiden SBY berharap agar iklan-iklan yang dipertontonkan jangan terlalu berjarak dengan karakter dan kehidupan sehari-hari, SBY mengajak masyarakat harus jeli dan cerdas untuk mengetahui realitas kehidupan tokoh tersebut (melek media).
Melek Media
Menurut penulis salah satu upaya untuk membangun masyarakat yang jeli dan cerdas terhadap dinamika media massa saat ini adalah membumikan literasi media. Mengingat media massa telah masuk ke dalam seluruh sendi-sendi masyarakat, baik secara sosial dan kultural, hegemoni dan dominasi media menjadi hal yang tidak terelakkan. Untuk itu penting adanya pembacaan kritis atas media, itulah literasi media.
Menjadi literated akan media (melek media) sangatlah penting mengingat perubahan zaman yang pesat sangat dipengaruhi oleh perkembangan media. Literasi media membantu untuk memberikan perspektif yang jelas atas batas antara dunia yang nyata (real world) dan dunia yang dibuat oleh media (media reality). Dan juga dengan menjadi melek media, maka seseorang akan memiliki pemetaan yang jelas atas teks-teks dan pesan-pesan yang terdapat dalam media, sehingga itu akan membantunya untuk mendapatkan informasi yang diinginkan oleh masyarakat tanpa harus direkonstruksi oleh pemilik media.
Dalam konteks transisi konsolidasi demokrasi di Indonesia, maka literasi media tidaklah hanya menjadi sebuah wacana yang secara aktif dibahas dalam kerangka akademis. Melainkan menjadi agenda yang harus disebarluaskan pada masyarakat secara massif dan sporadik. Sehingga nantinya masyarakat berfikir bahwa iklan politik bukan merupakan satu-satunya kekuatan untuk membujuk khalayak pemilih dalam kontestasi pemilu mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H