Pintu gate memisahkan kita pada dua arah yang berbeda pada malam itu. Kita yang selalu punya selera dengan 1001 perbedaan dan opiniopini yang siap berdebat saat mereka saling berpapasan. Belum lagi rasa yang suka menggiring hati pada keraguan, juga ketakutan saling kehilangan. Perasaan.
Aku kemudian menuju ke arah ku datang, duduk di kursi Bus Damri memandang keluar membalas tatapan lampu dan rintik hujan dengan romantika rasa yang ikut melirik. Kamu pun pergi, kepakkan Garuda membawa mu terbang meninggi mendekati citacita dan mimpi yang tergantung rapi.
Tibatiba, angin di malam itu, hujan yang membasahi jendela setiap rumah dan udara yang kita hirup, samasama memberi titah kepada hati untuk saling mendekat dan melekat untuk kemudian melebur jadi satu. Memerintah agar kita merasakan emosi yang membuahkan buah dengan satu rasa pasti, manis. Membebat emosi aku-kamu dalam satu simpul rindu yang sulit dilepas jika pertemuan belum terlaksana.
Demikian malam dengan segala ceritanya. Cerita shoheh layaknya hadisthadist Bukhori atau sahabat-sahabat Rosul yang tertulis di pelepah kurma di negeri para Nabi. Cerita yang membutuhkan banyak tinta untuk lembarlembar hari, minggu, bulan dan tahun berikutnya. Cerita yang mengharapkan sebuah kesimpulan bermakna “menyatu” tersirat, sebelum titik terakhir tersurat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H