Lepet diikat per lima biji. Ketan 3 kilogram akan jadi sekitar 80 buah lepet, atau 16 ikat. Hampir 10 jam total waktu yang dibutuhkan untuk membuat Lepet. Rumit dan melelahkan karena semalam suntuk harus terjaga. Itulah kenapa aku selalu melarang ibuku membuat Lepet. Aku khawatir kesehatannya.Â
"Setahun sekali, kalau tidak Lebaran juga tidak ada Lepet," kata Ibuku beralasan.
Menurut ibu, Lepet itu lebih dari tradisi. Ada filosofi dibalik makanan padat dan gurih ini. Lepet adalah sarana "Silaturruhiyah" antara yang hidup dan yang sudah meninggal. Setiap Lebaran, anggota keluarga yang sudah meninggal sangat mengharapkan kiriman dari yang masih hidup. Lepet adalah ungkapan kerinduan dari yang masih hidup kepada yang sudah di alam keabadian.
"Nek ono keluargane sing wis mati ning kono men iso rasan Lepet, nek njaluk koncone ning kono gak bakal dikei (kalau ada keluarga yang sudah meninggal disana bisa merasakan Lepet. Kalau minta temannya di sana tidak bakal dikasih)," kata Ibuku lagi.
Penjelasan ini bagiku logis-logis saja. Sebab biasanya Lontong dan Lepet ini menjadi satu paket untuk "Munjung" dan untuk "Mentokke" (akan aku ceritakan ditulisan berikutnya) setiap Lebaran. Pemberian berupa Munjung dan Mentokke ini selain sebagai "Pirukunan" juga ada nilai shodaqoh yang sudah barang tentu pahalanya akan mengalir ke si mayit. Aku yakin itu.
Tradisi Munjung bisa dibaca di link berikut :
Lebaran tinggal menghitung hari dan semakin membuatku gelisah. Lepet itu seperti rindu yang mengancam.Â
Ibuku seperti ibu-ibu lainnya di desa tak pernah mengkhawatirkan Covid-19. Ibuku hanya peduli kamu pulang atau tidak. Sebaliknya, aku sangat memedulikan kesehatannya. Maafkan aku ibu, semoga pandemi segera berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H