Mohon tunggu...
Moelyonov Abdul Djalil
Moelyonov Abdul Djalil Mohon Tunggu... Penulis - Hipnotis/hipnterapis/trainer/motivator. Pemerhati masalah sosial, budaya, dan politik yang memiliki hobi menulis.

Hipnotis/hipnterapis/trainer/motivator. Pemerhati masalah sosial, budaya, dan politik yang memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Life Progression: Mengintip Masa Depan Diri

23 April 2017   10:43 Diperbarui: 24 April 2017   06:00 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang memiliki impian. Setiap orang memiliki masa depan. Pertanyaannya: Apakah semua orang hidupnya sukses sesuai dengan impian atau cita-citanya? Apakah cita-citanya itu sesuai dengan dan merupakan perjuangan sekaligus kerja keras dari potensi yang dimiliki? Apakah impian atau cita-cita pada masa depan itu benar merupakan cita-cita sejati (keinginan bawah sadar) ataukah sekadar keinginan indrawi? Atau jangan-jangan banyak orang memiliki cita-cita sekadar mengikuti tren zamannya? Mengapa hanya ada sedikit orang yang dari usia muda hingga akhir hayat berada dalam kondisi yang konsisten “lurus dan benar” sehingga mampu mengoptimalkan potensi dirinya untuk menggapai masa depan sesuai dengan impian/cita-cita, lalu kehidupannya sukses dan bahagia?

Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali menggoda diri penulis. Mengapa? Penulis sendiri merasa dan mengamati tidak sedikit orang —tentunya termasuk penulis— dari kecil hingga usia 20-an tahun harus sekolah (mendapatkan pelajaran dan atau pendidikan) secara formal, sekadar belajar tanpa “ruh”, yang penting sekolah! Lalu, setelah tamat sekolah dan kuliah harus bekerja di tempat yang sering kali tindak nyambung,bahkan jauh berbeda dengan apa yang telah dipelajari selama sekolah/kuliah. Contoh: (1). Penulis kuliah hanya karena diterima di Jurusan Sejarah, Universitas Padjadjaran melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) pada dekade 1980-an, lalu setelah lulus melamar kerja ke sana kemari, dari ikut tes PPK Milsuk TNI-Polri, hingga kemudian terdampar bekerja sebagai editor di penerbitan buku. (2). Si A ketika SMA masuk jurusan IPA karena senang pelajaran Biologi, kemudian kuliah di Jurusan Teknologi Pangan di Institut Pertanian Bogor dan lulus mendapatkan gelar Sarjana Pertanian (SP),mak bedunduk kemudian hari dia bekerja sebagai kasir di sebuah bank.

Berbeda dengan kasus seorang sahabat yang “lurus dan benar”. Sebut saja Profesor X (sahabat penulis dari zaman SMP). Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), X sudah senang nongkrong dan membantu pemilik bengkel sepeda motor karena dia senang ngoprek mesin. Saat SMA, dia masuk jurusan IPA dan karena dia memang anaknya cerdas, setelah lulus SMA masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Mesin. Empat tahun di ITB dia lulus cum laude, lalu mendapat bea siswa untuk program master dan doktor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Boston, Amerika Serikat. Setelah lulus dari MIT dia bekerja sebagai dosen hingga guru besar di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat selama belasan tahun. Setelah bosan di negeri Paman Sam, dia kembali ke almamaternya, mengajar di Jurusan Teknik Mesin, ITB.

Penulis berani menjamin bahwa orang yang “benar”, seperti sahabat penulis jauh lebih sedikit ketimbang orang-orang yang hanya sekolah/kuliah dan kemudian sekadar bekerja di bidang yang tidak nyambung dengan potensi yang dimiliki. Mengapa ini terjadi? Apakah sistem pendidikan kita yang salah/tidak tepat? Jawabanya tentu saja akan beragam. Para ahli pendidikan tentu melihat dan menjawab dengan kacamata mereka. Para psikolog atau ahli ilmu jiwa pun pasti akan menilai dan menganalisis sesuai dengan bidang keilmuan mereka. Para filsuf tentu saja membedah dengan pisau bedah mereka.

Sementara sambil membiarkan para ahli pendidikan, psikolog, dan filsuf membongkar fenomena ini dengan ilmu mereka, penulis mempunyai pengalaman dan pendapat sendiri yang mungkin jauh berbeda dengan pendapat mereka. Mengapa banyak orang tidak bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan dan potensi yang mereka miliki, menurut penulis karena mereka —sekali lagi termasuk penulis pada saat itu— tidak menyadari, tidak mengetahui, tidak memahami, bahkan tidak mau mencoba mengerti impian atau cita-cita mereka sendiri! Akibatnya, mereka gagal mengelola potensi yang dimiliki, tidak percaya diri, dan akhirnya menjalani hidup yang biasa-biasa saja, bahkan tidak sukses dan jauh dari bahagia!

Dahsyatnya Imajinasi

Setelah beberapa tahun mengenal dunia hipnosis/hipnoterapi, pada bulan Januari 2011, penulis tiba-tiba ingin sekali merasakan (mengenal rasa) dihipnosis. Maka, pada suatu kesempatan di Surabaya, penulis meminta kepada seorang sahabat hipnoterapis agar menghipnosis penulis. Saat itu —karena penulis tidak memiliki masalah yang perlu diselesaikan dengan hipnoterapi— dia hanya merelaksasikan penulis dan menginstruksikan penulis untuk mengimajinasikan level-level kebahagiaan yang penulis inginkan dari waktu terdekat, dan seterusnya. Masih teringat betul, level pertama penulis sangat bahagia jika penerbitan yang penulis pegang —saat itu penulis sebagai pemimpin redaksi dan, jujur sangat mencintai pekerjaan di sana— omzetnya menembus angka Rp1 miliar karena sebelumnya hanya berkisar Rp700 juta—800 juta. Level kedua, penulis merasa bahagia seandainya bisa umrah ke Tanah Suci Mekkah. Level ketiga, penulis bahagia jika suatu saat bosan bekerja di perusahaan tempat kerja penulis, ada orang yang “membajak” penulis untuk bekerja sama. Dan seterusnya hingga level terakhir, bahagia jika bisa menunaikan ibadah haji bersama keluarga.

Amazing! Kebahagiaan level pertama terealisasi pada bulan Maret 2011 atau dua bulan setelah proses hipnosis, omzet perusahaan menembus angka Rp1,3 miliar! Level kedua terjadi pada bulan berikutnya, akhir April 2011, bos tiba-tiba mengajak umrah (gratis) bersama beberapa orang dari penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Level ketiga, pada akhir 2013, seorang pengusaha mengajak kerja sama penulis untuk mendirikan perusahaan penerbitan, yang kemudian berdiri tetapi tidak bertahan lama, hanya sekitar 1,5 tahun, kami terpaksa pecah kongsi lalu berjalan sendiri-sendiri. Saat ini, penulis yang telah “bermetamorfosis” menjadi hipnotis/hipnoterapis, trainer, dan belajar menjadi motivator, tetap percaya dan dengan senang hati menunggu terealisasinya level-level kebahagiaan berikutnya!

Berbekal pengalaman tersebut, sambil terus belajar melalui berbagai referensi dan bertanya kepada para senior, beberapa kali penulis menghipnoterapi klien menggunakan teknik imajinasi tersebut untuk membongkar problematika klien. Seingat penulis, pertama kali menerapi seorang pengusaha muda, sebut saja Y, yang selama beberapa tahun mencoba aneka macam bidang bisnis. Dia mengeluh karena 11 kali membuka usaha, selalu gagal, hancur, bahkan menurutnya tidak ada ruhnya. Ternyata, saat penulis menghipnoterapi yang bersangkutan, ke-11 bidang usahanya itu tidak ada yang sesuai dengan keinginan pikiran bawah sadarnya. Karena sebenarnya impian atau cita-cita pikiran bawah sadarnya pada masa yang akan datang adalah, “Aku sukses dan kaya-raya sebagai pebisnis katering masakan Palembang, di Jakarta Selatan!”

Kedua, menerapi bocah laki-laki kelas 5 SD yang matanya jereng (tidak bisa melihat fokus ke depan) dan lumayan nakal (suka berkelahi di sekolah, naik motor ugal-ugalan dan sering jatuh). Untuk “menyembuhkan” mata jereng-nya, penulis pun memintanya bermain-main imajinasi. Di luar dugaan, pikiran bawah sadar anak itu bercita-cita menjadi pembalap Formula 1, dan saat penulis tanya, “Yakin menjadi pembalap Formula 1? Main pertama kali di luar negeri di negara mana dan umur berapa?” “Yakin! Saya akan menjadi pembalap Formula 1, main pertama kali di Singapura pada umur 22 tahun!” Sayangnya, cita-cita anak ini kurang direspon dengan baik oleh orangtuanya. Padahal, proses hipnoterapi dilakukan di depan ayahnya dan penulis pun memberikan advis agar anak ini dikursuskan balap mobil anak-anak atau gocart. Akibatnya, kenakalan anak ini bukannya berkurang. Makin senang berkelahi, senang ngebut dan jatuh karena tabrakan, bahkan ketika duduk di bangku kelas 1 SMP, dia dipaksa pindah ke sekolah lain karena bandelnya!

Ketiga, menerapi seorang mahasiswa Jurusan IT semester III di sebuah PT swasta yang menurut ayahnya sudah kecanduan maininternet hingga setiap hari waktunya dihabiskan di warung internet (warnet). Ternyata, dalam kondisi hipnosis/trance saat penulis tanya, “Apakah Mas senang main internet itu untuk melihat film atau konten porno?” Dia menjawab, “Tidak! Aku main game dan belajar membuat game!” Lalu, mencari tahu apa sih keinginan terbesar dia pada masa yang akan datang? “Aku pengin menjadi gamer. Pembuat game!” Aku bertanya lagi, “Yakin menjadi gamer? Tidak ada yang lain?” Dia menjawab tegas, “Yakin! Cita-citaku cuma itu!” Penulis pun bertanya lagi, “Baik, kalau begitu Mas pada umur berapa yakin bisa membuat game yang luar biasa, yang disukai banyak orang dan membuat Mas terkenal dan kaya-raya?” Dia menjawab tanpa ragu, “Umur 30 tahun!” Lantas, penulis menyarankan kepada ayahnya agar membelikan perangkat komputer dan memasang internet di rumah untuk memenuhi kebutuhan si anak. Juga, menyarankan agar mencarikan guru privat atau kursus membuat game.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun