Oleh: Masmulyadi, lahir di Selayar. Adalah peneliti muda di Institute of Public Policy and Economic Studies
Harian Tribun Timur, Jum’at (27/08) menurunkan headline yang cukup menarik bertajuk “Alfamart Serbu Makassar: Bakal Hadirkan 50 Gerai”. Ini adalah kabar buruk bagi sektor informal (usaha kecil formal, informal, dan tradisional), sekaligus menyempurnakan invasi pasar modern terhadap pasar tradisional di Kota Makassar.
Kalau sebelumnya Makassar diramaikan dengan hadirnya berbagai mall, hypermart, superstore, dan department store yang membentang dari Barat dan sampai Timur Kota. Kini giliran mini market itu yang menyerbu Makassar dengan kekuatan yang sangat dahsyat, 50 gerai. Gerai tersebut, cepat atau lambat akan menguasai ruang-ruang ekonomi konsumsi warga kota.
Lantas bagaimana dengan posisi sektor informal ditengah gejala ritelisasi ini? Pertanyaan ini sangat penting karena berkaitan dengan kehidupan ratusan pedagang informal yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari berjualan (kelontong) barang-barang konsumsi, terutama kebutuhan keseharian warga di sekitarnya.
Gurita Ritel Modern
Dalam prakteknya, perekonomian dewasa ini telah melahirkan polarisasi bagi pelaku ekonomi untuk menjelaskan bidang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Polarisasi yang dimaksud ialah sektor formal yang merujuk pada segala kegiatan yang terdaftar, terorganisir dan memiliki perlindungan hukum, dan sektor informal yang menunjuk semua kegiatan ekonomi yang tidak bercirikan sektor formal.
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil terdapat definisi tertulis tentang sektor informal. Disebutkan bahwa yang dimaksud usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, antara lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang kelontong, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima dan pemulung.
Dibandingkan dengan ritel modern yang menawarkan berbagai macam kemudahan dan fasilitas yang memanjakan, sektor informal (kelontong dan ritel tradisional) hanya mengandalkan kedekatan dengan konsumen.
Bisnis ritel dengan berpenampilan mewah ini, terkesan dimonopoli oleh sekelompok pemodal besar. Dengan berkedok perusahaan waralaba, mereka membentuk unit-unit pelayanan dan menyusup masuk hingga ke pelosok pemukiman yang sebenarnya merupakan lahan bisnis dari para pewarung maupun kios-kios kelontong. Mereka seakan tutup mata terhadap kelangsungan hidup dari para pewarung ini.
Tentu tidak adil membiarkan sektor informal versus pasar (ritel) modern bertarung dalam ring yang serba terbuka dengan kekuatan yang tidak imbang. Pertama, dalam hal penguasaan modal (capital), pasar modern tentu memiliki kekuatan modal yang besar karena didukung oleh sebuah group bisnis besar yang menggurita. Sedangkan pelaku informal hanya memiliki etos kewirausahaan dan sedikit rupiah untuk melanjutkan kehidupannya mengais rezeki dari berjualan kelontong. Semacam konsep subsistem dalam kategorisasi petani di Indonesia yang bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tidak lebih dari itu.
Kedua, area perdagangan. Bisnis ritel modern dengan daya dukung modal yang dimilikinya mampu memperoleh area perdagang yang strategis baik secara geomarketing dan psikologi orang kota. Bahkan pada tingkat tertentu di Jawa khususnya, ritel-ritel ini telah menyerbu desa. Sementara sektor informal hanya mengandalkan rumah, gerai kecil, kios, atau gerobak yang tentu sangat terbatas untuk mensuplai kebutuhan-kebutuhan pelanggannya.