Suara adzan magrib mengiang-ngiang dikuping terpancar dari ujung menara masjid. Sore itu, saya bersama tim (Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah, di zaman Mbah Dahlan namanya Penolong Kesengsaraan Oemoem -PKO) akan melakukan kunjungan ke Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta mulai berkumpul. Setelah sholat magrib, tim yang terdiri atas lima orang itu, semuanya anak-anak "Muhammadiyah pinggiran" yang memiliki komitmen bersama masyarakat, dan kami pun berangkat menuju lokasi dampingan.
Anda mungkin merasa aneh. Kok Muhammadiyah mendampingi - wong deso - penderes nira?. Bukan kah Muhammadiyah itu kelas menengah kota? Ya tapi inilah yang kami lakukan. Tak peduli dengan stigma Muhammadiyah berbasis kota. Toh mereka bagian dari umat Islam yang harus disapa. Diajak berdialog. Dipapah sampai ia bisa berjalan sendiri dan keluar dari lingkaran masalah yang melilitnya. Inilah jalan sesungguhnya Muhammadiyah. Jalan otentik yang digariskan oleh pendirinya Mbah Dahlan. Setidaknya Muhammadiyah yang saya pahami.
Menjelang pukul 19.00 Wib, mobil memasuki kawasan hutan lindung yang menjadi penyangga waduk Sermo. Suasana jadi gelap gulita. Tak ada berkas sinar secuil pun, kecuali cahaya lampu kijang merah yang kami tumpangi. Jalanan menanjak dan terkadang curam membuat suasana sedikit hening. Seolah dalam sebuah penyergapan yang butuh sikap siaga. Sesekali candaan ringan keluar dari mulutku. Sekedar menghangatkan perjalanan.
Waduk Sermo merupakan satu-satunya waduk di Kulonprogo. Waduk ini terletak kurang lebih 7 km di sebelah barat kota wates atau 36 km di arah barat kota Yogyakarta. Dari mulut waduk inilah air dimuntahkan dan dijual oleh PDAM untuk minum, mandi, dan keperluan lain bagi warga Kulonprogo. Dari sini pulahlah padi sawah memperoleh air dan tumbuh menghijau membuat mata fress. Sabang hari waduk ini jadi arena mancing yang mengasyikkan. Melepas penat dari suasana kota yang gaduh.
Sampai di Kokap waktu menunjukkan pukul 20.00 Wib kurang. Karena tempat pertemuan berada di daerah berbukit, salah satu rumah anggota kelompok “Pusaka Mulia” tim kami jalan kaki menuju rumah itu. Tanah yang baru tersiram hujan sedikit becek. Disamping becek, tak ada lampu jalan sebagaimana lazimnya di kota. Kami hanya menggunakan senter berkapasitas dua baterai untuk menerangi perjalanan. Cukup menyulitkan bagi kami untuk menanjak ke rumah itu. Suasana itu membawa saya pada waktu sekolah di Selayar tahun 1990-an. Tak listrik, di kampung kami hanya bisa menikmati lampu minyak yang membuat hidung hitam tak kala belajar di malam hari. "Ah kampungku, kapan ya dapat listrik"? gumamku.
Dinamika Komunitas Pusaka Mulya
Secara administrasi pemerintahan, komunitas “Pusaka Mulia” berada di dusun Tegiri, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kulonprogo. Desa ini terletak di kawasan hutan lindung dan pinggiran waduk sermo. Wilayah Hargowilis merupakan daerah berbukit sekitar 400 – 500 meter dpl dan kodisi tanah yang tidak pas untuk budidaya tanaman pangan utama seperti padi. Perjalanan ke desa tersebut ditempuh kurang lebih 2 jam dari kota Yogyakarta menggunakan kendaraan bermotor.
Komunitas ini telah berdiri sejak tahun 2008 dan mulai eksis melaksanakan kegiatannya pada medio juli 2008. Anggota komunitas pusaka mulia sebanyak 24 orang dengan pekerjaan utama sebagai penyadap nira.
Disamping menyadap nira, beberapa kegiatan pertanian juga dilakukan seperti; tanaman semusim dan tanaman tahunan. Pada tahun 2008, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta memberikan bantuan bergulir dalam bentuk hewan ternak, yaitu kambing peranakan Etawa (PE) yang diusahakan secara berkelompok. Anggota komunitas pusaka mulia berkumpul secara rutin pada malam tanggal satu setiap bulannya. Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan berbagai permasalahan dan kepentingan anggota-anggota kelompok.
Tanaman tahunan seperti Kakao di usahakan oleh anggota komunitas untuk menambah penghasilan (lihat foto kegiatan). Karena baru menanam, otomatis mereka memerlukan pendampingan teknis budidaya dan pemeliharaan kakao. Diam-diam, rupanya mereka mempersiapkan sebuah transformasi dari penderes menjadi petani kakao. Barangkala situasi dibawah ini yang menjadi jawaban ketika saya tanya mengapa mereka menanam kakao.
Dari beberapa pertemuan warga dapat diketahui bahwa persoalan utama masyarakat di dusun Tegiri ialah bagaimana meningkatkan ekonomi rumah tangga. Aktivitas ekonomi rumah tangga yang selama ini banyak bergantung pada pekerjaan menyadap nira dirasakan mulai jenuh. Harga gula jawa ditingkat rumah tangga banyak dimainkan oleh tengkulak/ijon dan pedagang pengumpul. Produktivitas pohon kelapa yang mulai menurun disamping ketinggian. Pada musim penghujan, kira-kira antara desember sampai maret sepanjang tahun, maka produksi gula merah/jawa meningkat sementara harganya terjun bebas. Kalau pada musim-musim paceklik, harga gula berkisar antara Rp 4500 – Rp 5500, maka pada musim penghujan, harganya kisaran Rp 1500 sampai Rp 3000. Pada musim hujan, penderes disamping harga murah, mereka juga memiliki kesulitan karena pohon kelapa menjadi licin untuk dipanjat.