“Keterlibatan saya sebagai seorang aktivis merupakan konsekuensi logis dari pencarian akan makna kehidupan pribadi dan sosial saya sebagai seorang anak muda”. – Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko di suatu mimbar bebas saat masih aktiv di PRD sumber:www.depokinteraktif.com
Seorang anak muda berkacamata menyampaikan orasi di tengah-tengah massa yang mendukung Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Suaranya menggelegar membakar emosi massa. Rambutnya di potong rapi. Di badannya menempel kameja berwarna putih lengang pendek – persis seperti anak kuliahan semester satu – dengan ujung bawah baju didalam celana. Kontras dengan kebanyakan massa aksi. “Buktikan organisasi kami komunis,” sergahnya suatu ketika di bulan Juli 1996. Siapa lagi kalau bukan Budiman Sudjatmiko. Namanya semakin melambung setelah peristiwa berdarah, 27 Juli 1996 di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat. Peristiwa getir yang memilukan. Sekaligus menjadi salah satu pemantik lagu perlawanan rakyat.
Budiman Sudjatmiko lahir dari keluarga kelas menengah di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 10 Maret 1970. Ia menghabiskan masa kecilnya di wilayah perbukitan yang menjadi arus lalu lintas yang menghubungkan Jawa dan Sunda (khususnya priangan timur) itu. Di sanalah ia mengalami peristiwa-peristiwa penting yang kemudian membawanya menentukan jalan hidupnya sebagai aktivis politik. Ia merasakan betapa getirnya kehidupan rakyat. “Kematian Mbah Dimin menjadi pertemuan pertamaku dengan kenyataan hidup yang berjelaga seperti pantat panci: kemiskinan, utang, bunuh diri dan kematian” ungkapnya dalam memoar (Anak-Anak Revolusi) yang ditulisnya tahun 2013. Peristiwa itu banyak menghentak nalar Budiman remaja waktu itu.
Budiman tumbuh di tiga kota sekaligus, Majenang (Cilacap), Bogor dan Yogyakarta. Keluarganya menanamkan nilai-nilai religiusitas, nasionalisme dan kepedulian (pemihakan pada kemanusiaan). Nilai-nilai yang kemudian hari banyak mempengaruhi cara pandang dan pilihan politiknya. Nilai-nilai itulah yang mengantarnya terlibat dalam arus massa rakyat yang id perjuangkan. Di usianya yang belasan tahun, ia sudah terlibat dalam pengorganisasian rakyat.
***
Kegetiran telah membuatnya menyatu dengan rakyat. Kehidupannya dipenuhi oleh perlawanan. Dan penjara adalah risiko atas pilihan perjuangan politiknya menentang rezim despotik, Seoharto. Saat banyak anak muda memilih kehidupan nyaman, ia malah masuk ke zona ekstrim. Itulah barangkali mengapa Budiman kurang romantis. “Pernah suatu pagi di Bulaksumur Universitas Gadjah Mada (UGM), Budiman yang jauh-jauh datang dari Jakarta, hendak melepas keberangkatan seorang mahasiswi Fakultas Sastra yang akan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN). Di genggamannya telah siap bingkisan kaset lagu-lagu klasik yang sering didiskusikan bersama si gadis. Rencananya, kaset itu bakal jadi tambatan kenangan selama mereka berpisah. Tapi Budiman tak jadi memberikan bingkisan itu, lantaran dilihatnya dari jauh, si gadis tengah berbincang dengan cowok lain” tutur Bimo Nugroho, kawan Budiman di Fakultas Ekonomi UGM di Suara Independen tahun 1997.
Sebagai aktivis, penampilan Budiman berbeda dengan umumnya aktivis yang kita bayangkan seperti rambut gondrong, sandal jepit dan kaos-an. Di beberapa foto yang saya lihat baik di buku Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk: Catatan Anak Muda Menentang Tirani yang ditulis oleh F.X. Rudy Gunawan (1999) maupun buku Peristiwa 27 Juli yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1997, cara berpakaian Budiman memang rapi. Dan karena cara dan pilihan berpakaian itu seringkali Budiman menjadi “terdakwa”.
Soal berpakaian rapi itu, berikut pengakuan Budiman Sudjatmiko yang saya kutip dari emailnya di forum pembaca kompas tahun 2008 yang lalu saat beberapa aktivis mencalonkan diri menjadi anggota legislatif yang ketika itu menjadi diskursus:
“Soal saya berpakaian necis dan rapi? Sekali lagi: saya suka tampil rapi (mungkin itu sisa-sisa narsisme yang ada di diri saya ha...ha...ha...just kidding), karena saya adalah orang yang suka membongkar takhayul bahwa aktivis itu pasti gondrong, berjaket kulit dan dengan geraham mengeras, 'mengawal prinsip-prinsip perjuangan'. Bagi saya seorang aktivis jalanan juga bisa tampil rapi, boleh berapi-api di podium di hadapan massa aksi atau forum debat, disemprot gas air mata dan bisa berkelahi bersenjatakan tongkat melawan polisi anti huru-hara...tapi masih tetap bisa tersenyum ramah dalam keseharian.”
Saat Budiman membacakan deklarasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tanggal 22 Juli 1996 di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta ia tampil dengan kemeja putih lengan panjang. Di wajahnya dengan setiap ditemani oleh kacamata minus berbingkai hitam. Kacamata yang kemudian menjadi pecah karena jatuh terinjak massa saat kerusuhan 27 Juli meletus. Penampilannya yang rapi tidak mengurangi kebencian rezim Soeharto kepadanya. Aparatus negara di kerahkan untuk memburu anak muda berpakaian rapi itu. Ia akhirnya ditangkap di Bekasi dengan beberapa pimpinan PRD pada tanggal 11 Agustus 1996.
Dalam setiap orasinya di berbagai mimbar bebas, kerap ia menggunakan kameja entah berlengan pendek atau pun panjang. Dengan gayanya yang khas itu ia mengagitasi massa aksi. Pakaiannya yang rapi tidak mengurangi kewibawaannya sebagai pemuda radikal. Ia tetap percaya diri dalam kerapihan dan aktivismenya.
Dalam tulisannya di Suara Independen (1997), Bimo Nugroho mengatakan bahwa kawannya (baca: Budiman) memakai kacamata yang up to date, rambutnya di pangkas bak model new kids on the block. Memang waktu itu kacamatanya pecah saat ia jatuh dikejar-kejar aparat yang mengobrak-abrik tenda aksi keprihatinan Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) di Boulevaard UGM. “Dan di dalam tasnya selalu tersimpan krim pengkilat rambut, serta kemeja putih dan celana hitam untuk ganti. Ia memang lain, bahkan di antara aktivis demonstran waktu itu yang lazim berambut gondrong.” Papar Nugroho.
Tidak ada yang salah dengan gaya berpakaian rapi Budiman. Justru ia ingin menunjukkan bahwa aktivis itu tidak melulu kumal, gondrong dan kaos-an. Menjadi aktivis itu bisa juga rapi. Dan kerapian tidak sama sekali mengurangi bobot gagasan perlawanannya. Kerapian tidak mereduksi nalarnya yang revolusioner. Bahwa berpakain dengan baju setrika dan celana kain hanyalah pilihan berpakaian, tidak lebih dari itu. Bukan pula untuk tampil sombong.
Kerapian tentu berbeda dengan hedonisme. Dan Budiman Sudjatmiko bukanlah sosok yang hedon sebagaimana dituduhkan para pengkritiknya. Buktinya ia masih menggunakan moda transportasi kereta api acap kali melakukan perjalan di Jawa. Kecuali memang mendadak yang mengharuskan ia naik pesawat. “Saya senang naik kereta api” ceritanya suatu waktu saat ceramah di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Organisasi pertama yang ia kenal dan mengantarnya dengan belantara kelompok diskusi diawal kedatangannya ke Yogyakarta tahun 80-an sebagaimana diakuinya dalam memoar Anak-Anak Revolusi.
Saya kira kerapihan merupakan pelajaran penting yang bisa dipetik dari sosok mantan Ketua PRD ini. Kerapihan tidak identik dengan pakaian mahal. Yang terpenting dari itu adalah wajar dan normal. Artinya mampu menempatkan pada porsinya, dimana harus berpakaian apa. Sebagai politisi, kehidupan Budiman Sudjatmiko saya kira patut jadi pelajaran bagi anak muda negeri ini. Budiman bukanlah sosok politisi yang gemar dengan materi. Meskin pun juga ia tidak menyangkal bahwa dalam perjuangan materi tetaplah penting, hanya saja porsinya sebagai penunjang perjuangan saja. Materi hanya berguna sejauh ia bisa menopang dan menunjang sesuatu yang immaterial dalam hidup. Sesuatu yang immaterial itu adalah nilai-nilai kebajikan (virtue) yang di perjuangkan. Idealisme yang perlu diwujudkan dalam kehidupan kemasyarakatan.
Dalam surat elektroniknya di forum pembaca kompas pendiri Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) ini mengutarakan ukuran-ukuran kesuksesan hidupnya, yaitu: (1) bisa bersekolah di unversitas yang bagus (alhamdulillah pernah merasakan), (2) memproduksi tulisan yang mempengaruhi orang banyak (alhamdulillah, meski masih dalam bentuk artikel-artikel di koran dan majalah. Buku akan keluar dalam tahun ini. Moga-moga), (3) memiliki otoritas politik untuk mempengaruhi perbaikan hidup orang banyak secara lebih efektif (moga-moga terlaksana kalau terpilih jadi anggota DPR), dan (4) bisa mendidik dan menyiapkan pendidikan yang bagus untuk anak saya, lewat beasiswa.
Sebagai perbandingan yang patut dicatat bagaimana pemimpin politik di beberapa Negara juga memilih berpakaian rapi dalam setiap aktivitasnya. Adalah Aung San Suu Kyi, pemimpin prodemokrasi asal Myanmar yang juga kerap kali tampil dengan pakaian rapi di depan public. Bahkan ketika memimpin protes terhadap junta militer pun, perempuan peraih hadiah nobel pada tahun 1991 ini tetap menggunakan pakaian rapi.
Pemimpin politik Afrika Selatan dan revolusioner anti-apartheid, Nelson Mandela juga memiliki gaya berpakaian rapi nan khas. Ia menyukai batik. Seperti halnya Budiman, Mandela juga pernah merasakan hidup di penjara Victor Verster. Hidupnya disesaki dengan terror, intimidasi dan penindasan. Puncak risiko atas pilihan aktivismenya tatkala ia di penjara. Ia mendekam dalam tahanan rezim rasialis, aparheid dari tahun 1962 dan di bebaskan pada tahun 1990. Mandela kerapkali memakai pakai-pakaian berkualitas tinggi, menjadikan dirinya “bergaya kerajaan”. Ia memang bangsawan di tanah Afrika. Meski pun begitu, ia leburkan kelasnya. Ia bersama-sama rakyatnya berjuang menentang rasialisme.
Kontras dengan dua pemimpin politik diatas, Presiden Uruguay, Jose Mujica memiliki cara berpenampilan yang berbeda. Ia kerapkali menggunakan sandal dalam beberapa kesempatan acara resmi kenegaraan. Meski demikian bekas anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba ini selalu menggunakan kameja lengan panjang kesukaannya dan celan kain yang tergantung. Persis seperti kebanyakan aktivis Islam yang mencoba mempraktekkan Isbal. Yaitu berpakaian dengan ujung bawah pakaian tidak menutupi tumit. Mujica bukanlah seorang Islam revivalis. Pilihan berpakaiannya dilakukan karena ia nyaman dengan gaya tersebut.
Insight yang bisa kita peroleh adalah pilihan cara berpakaian adalah soal kebebasan. Soal kecocokan dan prinsip-prinsip hidup yang dianggap penting. Artinya berpakaian adalah salah satu cara mengekspresikan diri. Meski di era kolonial, berpakaian seringkali merefleksikan perbedaan kelas. Tetapi dalam konteks saat ini, pilihan berpakain jauh lebih sederhana. Artinya pemilihan gaya berpakaian tidak lagi mengacu kepada identitas yang membangun segregasi antara apa yang disebut Pribumi dan Eropa sebagaimana dalam kategori masa kolonial. Jadi berpakaian yang rapi itu soal pilihan kebebasan masing-masing individu. Tidak ada yang salah dalam cara berpakaian itu. Sang revolusioner sejati, Muhammad adalah contoh bagaimana kebersihan dan kerapihan berpakaian di praktekkan. Ia senantiasa menjaga caranya berpakaian. Termasuk rambutnya yang menurut sejumlah sumber, panjang menyentuh bahu.
***
Perjuangan politik adalah pilihan hidupnya. Perjumpaannya dengan kenyataan banyak rakyat hidup dalam kepapaan, ketidak berdayaan dan kegetiran membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan kehidupan rakyat dari jalur politik. Maka di usia yang masih sangat belia, ia sudah berjumpa dengan bacaan-bacaan berat yang dalam ukuran sekarang baru diperoleh saat kuliah di perguruan tinggi. Bacaan yang saya maksud adalah buku kompilasi tulisan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Sesuatu yang tentu luar biasa dalam ukuran waktu itu.
Bakat politiknya sudah terasah sejak masih belia. Bacaannya yang luas kemudian mempengaruhi cara pandangnya dari kebayakan aktivis politik. Ia lalu sekolah ke Yogyakarta. Dalam fase inilah kehausan intelektualnya memperoleh ruang. Saat sekolah di SMA Muhammadiyah itulah ia berjumpa dengan senior-seniornya di IPM yang mengenalkan Budiman remaja dengan belantara filsafat dan music klasik. Sejumlah filusuf di kenalkan seniornya seperti Nietzsche, Albert Camus, Sartre, Marx, Einstein, Feynman dan lain sebagainya. Budiman terposona dengan dunia barunya itu.
Budiman paham betul bahwa menjadi aktivis politik revolusioner harus memiliki empat syarat: sains, filsafat, teater dan musik klasik. Begitu seniornya menceramahinya disuatu waktu. Perkenalannya dengan gagasan-gagasan filsafat membuatnya senantiasa gelisah. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan berkecamuk dalam alam pikirannya. Pikiran-pikiran yang memprotes keadaan. Pikiran yang mempertanyakan sejumlah hal yang mengganggu akal sehatnya terhadap praktek politik dan kenegaraan di negerinya. Maka ketika ia kuliah di kampus biru, UGM ia sudah mendedikasikan kehidupannya pada rakyat dengan terlibat dalam pengorganisasian buruh dan petani di beberapa wilayah di Jawa.
Ia mengambil risiko. Meninggalkan kehidupannya sebagai mahasiswa di fakultas ekonomi UGM. Sebuah fakultas dimana mahasiswanya diajarkan bagaimana mengelola perusahaan agar untung. Menyiapkan strategi bisnis agar perusahaan memenangi persaingan bisnis. Mengatur arus lalu lintas uang agar efektif dan perusahaan tidak rugi. Ya sebuah perguruan tinggi yang sesial-sialnya alumni paling rendah jadi manager keuangan di berbagai perusahaan. Ia sudah bulat. Pilihannya sudah ditambatkan pada perjuangan politik. Maka menginjak tahun keduanya di kampus ndeso itu ia menyatakan cerai dengan dunia kampus.
Dan pilihannya untuk meninggalkan almamater itu berimplikasi kepada banyak hal. Termasuk harus rela tidak lagi mendapat kiriman dari orang tua. Beruntun ia masih diakui sebagai bagian dari keluarganya. Ia terlibat konflik yang cukup genting dengan Ayahnya. Ayahnya tidak suka dengan aktivitas politik Budiman. Dalam pengakuannya kepada FX Rudy Gunawan di buku “Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk: Catatan Anak Muda Menentang Tirani” ia bilang:
“Meninggalkan bangku kuliah memang mengecewakan bagi kedua orang tua saya sampai-sampai saking kecewanya mereka kemudian memutuskan untuk tidak mengirimkan saya uang lagi. Tapi dunia aktivis adalah jawaban yang telah saya temukan dalam pencarian makna kehidupan saya. Jadi, resiko apa pun memang harus saya hadapi, kan?”
Puncak risiko aktivitas politiknya tatkala Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan PRD yang menuntut pemerintahan demokratis. Sesuatu yang mustahil saat kekuasaan Soeharto sedang berada di puncak kematangannya. Ia lali di tangkap sebagai tahanan politik dengan dakwaan yang cukup mencengankan. Ia divonis tiga belas tahun penjara oleh rezim Soeharto. Meski sudah pernah dibui dan merasakan getirnya hidup dipenjara ia tidak kapok berpolitik. Saat musim semi berganti, ia dibebaskan dibebaskan oleh pemerintahan Gus Dur. Ia menepi sejenak ke Inggris. Ia belajar hubungan internasional di Universitas Camdridge dan ilmu politik di Universitas London sembari merenungkan Indonesia yang ia cintai dari negerinya Ratu Elizabet itu.
Suatu ketika di bulan april 2007, ia diundang menghadiri diskusi tentang kepemimpinan oleh IPM di Sleman, Yogyakarta. Di forum itu ia memaparkan makalah tentang idealisme yang dipertahankan dan idealisme yang diwujudkan. Salah satu yang menarik dari uraian Budiman yaitu keyakinannya mengenai pentingnya konsolidasi gagasan lebih awal ketimbang konsolidasi politik. Oleh karena itu alumni Universitas Camdrige ini merekomendasikan pentingnya kantong-kantong diskusi untuk membangun ikatan ideologis. Maka ketika bergabung dengan PDI-P pada tahun 2004 yang lalu ia tidak sendirian. Ia bersama dengan kelompok diskusinya (Relawan Pejuang Demokrasi) melebur bersama dengan partai pimpinan Megawati itu. Ia begitu yakin dengan kekuatan gagasan. Dan ia sadar betul bahwa dalam konteks konteks Indonesia hari ini, kehadiran institusi partai politik yang kuat adalah keniscayaan sejarah.
Dalam konteks politik Indonesia, ia begitu menyadari pentingnya pemimpin politik yang transformatif. Yaitu pemimpin yang secara politik, kultural, spirit dan gaya bisa memberi inspirasi rakyat untuk melakukan sesuatu. Pemimpin yang amanah, aspiratif dan berani memberi arah bagi bangsanya. “Syaratnya sederhana saja. Sebagaimana pada awal-awal kebangkitan, hampir semua pemimpin kebangkitan nasional hidup bersama rakyat, sangat dekat dengan kehidupan keseharian rakyat, sehingga bahasa rakyat hampir tak berjarak dengannya. Pesan sosial rakyat bisa diterima dengan sangat baik oleh mereka.” Jelasnya dalam sebuah artikel di harian kompas (21/05/08). Lebih jauh ia menguraikan bahwa kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus bertumpang tindih dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput. Begitu juga perubahan-perubahan yang terjadi di akar rumput harus berujung pada perubahan kepemimpinan politik untuk menjamin keberlangsungan dan keluasan dampaknya (kompas, 11/08/2012).
Kehadiran Budiman dalam kencah politik Indonesia masa kini mengingatkan saya dengan para aktivis politik yang berjuang di garda terdepan dalam menghadirkan republic ini. Para aktivis politik era itu menawarkan banyak sekali gagasan-gagasan mencerahkan. Politisi yang berani melakukan perdebatan mengenai nilai-nilai yang diyakini membawa manfaat bagi publik. Kita tentu ingat betul bagaimana debat-debat cerdas nan sengit antara para tokoh pergerakan Indonesia seperti yang tergambar dalam perdebatan antara Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka atau pun Amir Syarifuddin.
Ruang-ruang publik seperti surat kabar adalah arena yang paling banyak bagi adu gagasan tokoh-tokoh itu. Bahkan tidak cukup berhenti di surat kabar. Para penggerak republik itu juga menulis buku. Mereka memperbincakan berbagai gagasan-gagasan tentang pembangunan demokrasi, ekonomi dan politik. Perdebatannya jauh dari menyerang orang perorang seperti kita sering tonton di sebuah stasiun TV swasta. Mereka berdebat secara ikhlas untuk sebuah Republik Indonesia yang dicintainya. Berdiskusi dengan penuh kedalaman makna dan dilandasi oleh kejujuran atau meminjam istilahnya Habermas yaitu diskursif yang argumentatif. Artinya tidak ada yang dominan dan memaksakan kehendak. Semuanya berproses melalui diskursus dalam ruang pubik yang bebas.
Artikel-artikel Budiman Sudjatmiko yang terbit di koran-koran nasional adalah kecamuk dan pergolakan pikirannya terhadap suatu persoalan yang ia alami baik ia sebagai anggota DPR atau sebagai aktivis politik. Kehadiran tokoh politik muda sepertinya dan beberapa yang lain misalnya Indra J. Piliang, Bima Arya Sugiarto dan Anis Baswedan semakin memberikan keyakinan kepada kita semua soal masa depan Indonesia yang cerah. Kehadiran anak-anak muda itu menjadi penanda bahwa regenerasi politik Nasional tidak melulu menghasilkan politisi rabun ayam, meminjam istilahnya Syafi’i Ma’arif. Mereka juga bisa berdebat dengan kekayaan gagasan dan praktek-praktek pelayanan terbaik bagi rakyatnya.
Di balik segala kekurangannya, Budiman adalah seorang pembelajar yang baik. Ia adalah politisi intelektual yang dilahirkan oleh generasinya. Ketertarikannya pada filsafat membawa Budiman memiliki kedalaman epistemik dalam pandangan-pandangan politiknya. Dan tentu amat kaya dengan nuansa akademik. Ia adalah salah satu perumus manifesto politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1996 silang. Gagasan penting dalam manifesto itu adalah pentingnya sebuah rezim demokratik yang memberikan kebebasan bagi tumbuhnya partai politik untuk memperjuangkan pluralitas kepentingan rakyat. Ia menuntut pemenuhan hak-hak rakyat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik yang demokratik.
Rezim Soeharto amat sangat gegabah ketika menvonis Budiman Sudjatmiko sebagai komunis. Ia memang terpengaruh dengan gagasan-gagasan sosialisme. Tetapi sosialisme kan tidak lalu menjadi komunis. Dan sosialisme dalam prakteknya juga tidak tunggal. Maka ketika ia ditanya siapa tokoh yang ia kaguminya? Di beberapa kesempatan eks mahasiswa fakultas ekonomi UGM itu sering mengatakan Seokarno. Si bung itulah yang banyak mempengaruhi dalam kiprah politiknya. Pandangan-pandangannya tentang nasionalisme dan ke Indonesiaan. Pilihannya berlabuh ke PDI-P juga tidak bisa dilepaskan dari pilihan-pilihan partai yang tersedia yang mengusung gagasan-gagasan Bung Karno itu. Secara politik pandangannya cenderung kepada gagasan sosial demokrat (Sosdem).
Dalam sebuah wawancara di media online, Budiman ditanya apakah anda seorang yang kiri? Ia menyampaikan kecenderungan politiknya kepada central left atau sosdem. Dalam ekonomi peran swasta di afirmasi tetapi Negara bisa melakukan intervensi untuk menjaga agar distribusi keadilan terjadi. Jadi Negara punya peran tetapi bukan untuk menyamaratakan, tetapi mengurangi gap. Dan masyarakat bawah bisa mendapat pelayanan dan program sosial dari hasil pajak mereka yang berpendapatan sangat tinggi. Ia lalu mencontohkan Jerman dan Brazil sebagai tipe ideal Negara dengan haluan social democrat. Mereka memilih mekanisme demokrasi dan hak asasi manusia dalam banyak praktek kenegaraannya.
Oleh karena itu dari keseluruhan kiprah politik Budiman Sudjatmiko cukup beralasan bila sosok politisi muda ini disebut sebagai sosok intelektual organik. Istilah yang diperkenalkan oleh Antonio Gramschi – pemikir “kiri” karena garis pemikiran Marxian yang khas dalam tulisan-tulisannya – untuk menggambarkan sosok yang mampu melakukan exersice terhadap hal yang abstrak dan kemudian membawanya pada praktek kehidupan social. Sekaligus pada saat yang sama mampu mengabstaksi praktek-praktek sosial kemasyarakatan menjadi sesuatu yang mempunyai nilai filosofis. Gramsci mencoba memadukan intelektual, hegemoni, dan pemahaman filosofis akan dunia sosial politik serta proses sejarah dalam kerangka umum memetakan, mengkritisi, mendobrak dan me”revolusi” kekuasaan.
Disinilah kelebihan sosok Budiman Sudjatmiko yang kerapkali membedakan ia dengan banyak politisi di Negeri ini. Ketika banyak politisi memasang alat peraga sebagai cermin pemihakannya apada masyarakat marginal: buruh dan petani. Budiman telah mempraktekkannya. Ia tidak perlu memasang spanduk atau baliho. Tetapi dalam kehidupan politiknya, ia terlibat mengorganisir massa rakyat dalam perjuangannya meningkatkan kesadaran kritis rakyat terhadap hal-hak social, ekonomi dan politik. Di Cipari, Cilacap ia keluar masuk hutan untuk meyakinkan petani karet dan buruh perkebunan tentang hak-hak mereka yang terenggut.
Saat terpilih jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ia memilih di komisi pemerintahan dalam negeri. Komisi yang tentu jauh dari terminology komisi basah seperti halnya komisi infrastruktur, keuangan atau BUMUN. Lewat hak politik yang melekat kepada anggota dewan yaitu legislasi, budgeting dan pengawasan ia lalu mengartikulasikan hak-hak istimewa itu untuk mewujudkan harapan-harapan masyarakat. Salah satu yang bisa di sebut sebagai bagian dari kiprah legislasinya – tanpa bermaksud mengabaikan anggota DPR lainnya – yaitu keberhasilannya mengartikulasikan kepentingan otonomi desa menjadi undang-undang. Ia banyak turun ke daerah-daerah menyerap aspirasi. Keluar masuk desa bertemu dengan pemangku kepentingan sampai kemudian lahir perundangan yang sudah cukup lama diperjuangkan oleh banyak aktivis yang concern dengan isu-isu agrarian dan pedesaan.
Pada akhirnya pilihan-pilihan perjuangan yang dilakukan oleh si aktivis rapi ini tidak hanya berhenti pada sesuatu yang jangka pendek. Artinya ia tidak hanya mementingkan capaian-capaian pribadinya. Tetapi perjuangan politik yang dilakukannya di dedikasikan kepada ibu pertiwi yang senantiasa merindukan kiprah politik anak-anaknya. Ibu pertiwi rindu dengan aktivis politik yang mampu membahasakan kehendak-kehendak rakyat. Dan pada akhirnya politik adalah salah satu jalan yang diyakini oleh Budiman Sudjatmiko sebagai proses perwujudan kemuliaan. Perwujudan nilai-nilai kebajikan (virtue) yang universal.
Selayar, menjelang malam; 06/1/13
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H