Mohon tunggu...
Mulyadi Wijaya
Mulyadi Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Baca

Lahir di pulau kecil di Selayar, Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai fasilitator, peneliti independen dan associate di Prakarsa Cipta, hobinya menyelam, camping dan sesekali memotret

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Harga Cabe Meroket, Nasib Petani Belum Tentu

12 Januari 2011   06:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:41 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga cabe melambung. Begitulah berita koran dan televisi setiap hari dalam bulan-bulan ini. Hampir semua lapisan masyarakat panik, termasuk jajaran kabinet dan Presiden SBY. Kenapa demikian? Karena cabe ternyata bisa mempengaruhi inflasi. Karena itu jajaran kabinet bidang ekonomi harus mengambil keputusan untuk mengendalikan harga cabe yang menggila itu.

Tapi ada satu pertanyaan yang harus diselesaikan oleh pemerintah berkuasa saat ini, bagaimana nasib para petani cabe itu? Apakah harga cabe (kriting) yang melambung di pasar memiliki dampak bagi kesejahteraan petani? Nampaknya ini pertanyaan yang sulit dijelaskan.

Dalam praktek ekonomi, harga pasar tidak selalu sama dengan harga produsen (petani). Sebab cabe yang diperjual belikan di pasar sudah melalui beberapa tangan (saluran pemasaran).  Disinilah letak peliknya nasib petani. Mereka banting tulang memeras keringat untuk menghasilkan buah (cabe). Prosesnya tidak sederhana; (1) mulai dari mengolah tanah, (2) mencari benih, (3) menanam, (4) memelihara - memupuk, nyiangi, dll, (5) panen. Tapi kita pernah mau paham dengan proses-proses itu? Bagi kita yang penting dapur berasap dan bisa merasakan pedas, ya sudah selesai.

Sementara pak Tani harus kerja keras demi memasok cabe bagi orang-orang kota. Kita tidak pernah mau tahu bagaimana mereka berjibaku memperoleh bebit untuk ditanam. Benih yang saat ini dikuasai oleh korporasi dan pak Tani harus menggadai perhiasan istrinya untuk membeli sekilo atau dua kilogram benih. Pernahkah kita tahu itu?

Mana revitalisasi pertanian (RPPK) yang kau janjikan dulu (2004)? Atau jalan instan lewat food estate yang ditawarkan ke investor itu? Kalau tidak ada perubahan dalam mengelola pertanian, yakinlah 5 - 10 tahun lagi, kita akan impor beras dari Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lainnya yang nanam padi di Papua dan sejumlah lokasi proyek food estate. Apa tidak memalukan? Bangsa agraris macam apa ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun