Mohon tunggu...
Mulyadi Wijaya
Mulyadi Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Baca

Lahir di pulau kecil di Selayar, Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai fasilitator, peneliti independen dan associate di Prakarsa Cipta, hobinya menyelam, camping dan sesekali memotret

Selanjutnya

Tutup

Politik

Denyut Ekonomi di ‘Kereta Ekonomi’

14 Desember 2010   18:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kereta api merupakan sarana transportasi penting dalam konteks linkage antar wilayah di pulau Jawa dan Sumatera. Alat transportasi jenis ini sudah dipergunakan sejak zaman revolusi yang menghubungkan kota-kota strategis di Jawa. Secara imajiner, Pramoedya Ananta Tour menggambarkan bagaimana fungsi kereta di zaman itu dalam sebuah perjalanan Minke dengan Van Duijnen ke Surabaya.

Walau pun naik kereta api bagi kebanyakan orang tidak efisien, tidak nyaman dan mungkin capek. Tapi bagi saya, kereta api merupakan pilihan transportasi yang pas, terutama saat  kantong lagi kering. Kereta ekonomi, untuk tujuan Jakarta, cukup membayar Rp. 35.000.

Memang tidak efisien. Yogyakarta - Jakarta yang bisa ditempuh 45 atau 50 menit dengan pesawat, kalau naik kereta bisa sampai 11 atau 12 jam. Belum lagi kalau anjlok atau ada gangguan lain. Sementara banyak juga yang merasa tidak nyaman naik kereta api karena suasananya yang tidak nyaman.  Orang naik kereta ekonomi. seperti masuk kedalam gudang. Semuanya ada disana, ada barang, penumpang yang berjubel, pengamen (kewer-kewer) dan tentu pengasong. Saya juga tidak habis pikir, kenapa PT. Kereta Api Indonesia selalu rugi? Sementara kereta ini tak pernah sepi dari penumpan. Kondisi ini dilukiskan dengan baik oleh Pram dalam novelnya, yang mengisahkan Minke naik kereta api kelas satu, yaitu kelas putih, nyaman dan longgar. Sementara lawannya adalah kelas hijau, penuh sesak dan tidak nyaman tentunya.

Terlepas bahwa naik kereta itu tidak efisien, jorok dan tidak aman tapi dibalik itu semua ada banyak orang menggantungkan hidupnya pada jenis angkutan massal ini. Mereka menghidupi keluarganya dari berjualan di kereta ekonomi itu. Dari hasil berjualan itulah mereka bisa menyekolahkan anak-anak dan menafkahi keluarga mereka. Ada yang berjualan nasi, berbagai jenis air minum (biasa, dingin, dan panas), makanan ringan, asesoris, dan sebagainya. Mereka menjajakan jualannya dari satu stasiun ke stasiun lainnya sepanjang rel kereta. Untuk sebungkus nasi di jual dengan harga Rp. 5.000, demikian juga  untuk minuman dijual antara Rp. 2.000 - Rp. 3.500.

Kasus kareta ekonomi Progo tujuan Jakarta misalnya, dari stasiun Lempuyangan, Yogyakarta kira-kira ada 20-an orang pengasong yang kemungkinan berhenti di Gombong. Dari stasiun ini, akan berganti dengan pengasong lainnya yang akan berhenti di stasiun berikutnya, bisa di Bumi Ayu atau Cirebon. Demikian seterusnya. Mereka turun di stasiun lain menunggu kereta yang balik. Itulah keseharian atau kerja malam yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidup.

Keuntungan yang mereka dapatkan tidak banyak, ya kalau lagi dapat banyak biasa sampai 100 ribu atau lebih. Kalau lagi apesnya ya mungkin dapat 20 sampai 50 ribu.

Takdir Memang Kejam

Hidup memang berat. Tapi itulah takdir, mungkin memang kejam, tapi harus dijalani. Saya mengapresiasi semangat kerja mereka. Etos kerjanya sangat mengagungkan tapi ini masalah struktural. Seberapa pun mereka banting tulang, kondisinya ya tetap demikian. Mereka hidup dalam lingakaran yang runyam. Hanya kebijakan publik yang pro merekalah yang bisa mengangkat mereka pada sebuah kondisi yang lebih baik.

Dan kalau bicara mengenai masalah struktural, kuncinya tentu adalah kepemimpinan. Masalah-masalah struktural bukan tidak bisa dipecahkan, tapi lebih banyak yang bisa dilakukan ketika ada keberpihakan seorang pemimpin. Seperti ketika Chavez membuka istana untuk para korban banjir dan rela tidur di tenda demi rakyatnya. Wa Allahu A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun