Saya belum pernah memasuki istana kepresidenan. Katanya, terdapat banyak foto mantan presiden dan wakilnya dari masa kemasa. Dari sederat foto yang terpampang di dinding megah itu, seharusnya ada foto Sjarifuddin Prawiranegara dan Mr. Moehammad Hasan. Berdasarkan catatan sejarah, mereka pernah menjadi presiden dan wakil presiden, saat berdirnya Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI).
Ketika terjadi agresi meliter Belanda ke II, tanggal 19 Desember 1948, dengan bringasnya tentara Belanda menangkap tokoh-tokoh penting, termasuk Soekarno Hatta. Ibukota Jogyakarta jadi lumpuh. Terjadi kekosongan pimpinan, hingga pihak Hindia Belanda mengira Indonesia telah dikuasai kembali.
Padahal, di luar dugaan, mereka jauh di seberang pulau, ada dua tokoh utama yang mengadakan rapat untuk menyelamatkan Indonesia. Tokoh itu adalah Sjarifuddin Prawiranegara yang berasal dari Sumatara Barat dan Mr. Teuku Moehammad Hasan pria kelahiran Aceh.
Atas mandat Soekarno, mereka mengisi kekosongan pemerintahan Soekarno-Hatta, untuk membentuk Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI).
Saya angkat salut dengan pemikiran dan siasat Bung Karno kala itu. Disaat tokoh proklamator itu mengetahui keadaan Indonesia yang sedang terjepit akibat agresi Belanda ke II, beliau punya siasat dengan membuat dua perencanaan.
Yang pertama memberi mandat kepada Sjarifuddin Prawira negara untuk mempimpin Indonesia. Bila itu gagal maka perencanaan kedua adalah memandatkan Mr. A.A. Marmis saat itu sebagai menteri luar negeri yang berkedudukan di New Delhi India, untuk melanjutkan kepemimpinan di  apa bila kabinet Sjarifuddin gagal.
Namun rencana Soekarno yang pertama berhasil. Kekosongan pemimpin Indonesia bisa diatasi oleh Sjarifuddin Prawiranegara dan teman-teman seperjuangan lainnya di Sumatera.
Di bawah pimpinan mereka juga dibentuk kabinet yang terdiri dari para mentri dan panglima besar tentara. Presiden PDRI menyerukan untuk perlawanan atas agresi Belanda ke II, sembari terus menyuarakan pada dunia internasional tentang kebenaran, bahwa pemerintahan Indonesia masih ada.
Belanda saat itu benar-benar kewalahan melawan pejuang dan rakyat Indonesia. Dunia internasionalpun mengecam agresi Belanda ke-II. Pada akhirnya Belanda yang sudah merasa terjepit, membawa perang kembali ke perundingan, yang dikenal dengan perundingan Roem-Royen.
Setelah adanya keputusan dari perjanjian tersebut, PDRI pun berakir dan mandat kembali diserahkan pada Soekarno.
Apa jadinya jika tidak ada PDRI