Kemaren sore saya bersama teman sekantor kebetulan mampir di Ali Kopi salah satu warung kopi yang sedang digandrungi oleh kebanyakan warga kota Banda Aceh. Sambil menyeruput kopi dengan citra rasa khas kopi Aceh, kami mulai larut dalam pembicarakan seputar dunia perpolitikan.
Teman saya membuka pembicaraan"Kenapa Aceh belum memiliki wakil Gubernurnya, padahal kasus gubernur yang ditangkap KPK kan sudah ada putusan pengadilan?" Kemudian saya mencoba menanggapinya "Mungkin ada mekanisme tertentu yang belum dilakukan sehingga sampai saat ini Plt.Gubernur Aceh belum memiliki tandemnya".
 Sejak penangkapan orang nomor satu di Aceh sekitar dua tahun lalu oleh KPK, karena tersandung kasus koropsi, Aceh masih dipimpin oleh Plt. Gubernur. Entah apa masalahnya sehingga kami belum memiliki Wagub sebagai pendamping Gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan Aceh.
Reputasi Kepala Daerah
Tak jauh beda dengan Aceh di daerah lain juga sudah sering terjadi kasus serupa. Seperti peristiwa penangkapan oleh KPK terhadap gubernur Banten, Jambi, Kepulauan Riau dll, serta sejumlah Bupati/Walikota lainnya.
Sejak berdiri pada Desember 2002 lalu, lembaga antirasuah tersebut mencatat telah memproses 119 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. "Itu data per 7 Oktober 2019 sejak KPK berdiri," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (Kompas, 8/10/2019). Mereka menghadapi meja pesakitan karena tersandung kasus korupsi.
Untuk mendapatkan kekuasaan orang-orang ini rela menggelontorkan dana dengan jumlah milyaran bahkan triliyunan rupiah. Dana itu tidak semuanya murni dari kekayaan sang kandidat. Mereka mencoba mendekati kontraktor dan pengusaha yang memiliki kekayaan dan harta berlimpah.
Pengusaha juga menawarkan diri untuk memberi modal, berupa dana untuk calon kepala daearah yang memiliki popularitas dan ekstabilitas tinggi yang diprediksi akan memenangkan pemilu. Ada juga pengusaha yang memasang dua kaki sekaligus. Secara diam-diam mereka mendukung keduanya dengan memberi bantuan materi. Bantuan yang diberikan bisa saja dalam bentuk pinjaman dengan perjanjian tertentu. Apalagi kalau bukan iming-iming pengelolaan proyek strategis nantinya? Â
Â