Mohon tunggu...
Moehammad Abdoe
Moehammad Abdoe Mohon Tunggu... Penulis - Sastrawan Indonesia

Moehammad Abdoe, lahir di Malang, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, menulis puisi, cerpen, dan opini di media massa nasional.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kecerdasan Buatan, Kemanusiaan Kita

21 Desember 2024   17:42 Diperbarui: 21 Desember 2024   17:42 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Moehammad Abdoe (sumber: SMK Muh 5 Kepanjen)

Fenomena kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban modern, termasuk di Indonesia. Keberadaan teknologi ini menawarkan peluang besar, namun juga menimbulkan tantangan yang kompleks, khususnya dalam dunia kerja. Dalam budaya Jawa, kita mengenal konsep wayang, yang tidak bisa hidup tanpa dalangnya. Wayang bergerak karena ada yang mengendalikannya, dan teknologi AI pun memiliki prinsip yang serupa. Namun, jika teknologi ini berkembang tanpa kendali manusia, siapa yang akan menjadi dalangnya?

Di Indonesia, transformasi digital melalui AI telah merambah berbagai sektor, mulai dari industri kreatif hingga administratif. Di sektor kreatif, misalnya, AI digunakan untuk menciptakan karya seni, menulis artikel, hingga menghasilkan musik atau video. Dalam bidang administratif, AI menggantikan tugas-tugas repetitif seperti pengolahan data dan manajemen dokumen. Laporan dari McKinsey menyebutkan bahwa hingga 25% pekerjaan global akan berisiko tergantikan oleh AI pada tahun 2030, dengan sektor yang paling terdampak adalah pekerjaan yang berbasis data dan rutinitas. Di Indonesia, yang memiliki populasi pekerja besar di sektor informal, perubahan ini dapat menambah tantangan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial.

Namun, meskipun banyak pekerjaan manusia yang terancam hilang, AI juga membuka peluang besar. Dalam dunia kesehatan, misalnya, teknologi ini dapat mempercepat diagnosis penyakit dan penelitian obat. Di bidang pertanian, AI digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman dan mengoptimalkan penggunaan air serta energi. Di sektor manufaktur, AI memungkinkan produksi yang lebih efisien dengan mengurangi kesalahan manusia dan mempercepat proses kerja. Teknologi ini, jika dimanfaatkan dengan bijak, dapat membawa keuntungan luar biasa bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia.

Namun, di balik manfaatnya, AI juga membawa potensi ketimpangan digital yang besar. Ketimpangan ini muncul karena tidak semua individu atau daerah di Indonesia memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, infrastruktur teknologi relatif lebih baik, tetapi di daerah terpencil, akses terhadap teknologi dan pelatihan digital masih terbatas. Hal ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara yang dapat mengakses dan memanfaatkan teknologi dengan yang tidak.

Ketimpangan ini semakin terlihat dalam perbedaan kemampuan antar negara. Negara maju dengan infrastruktur teknologi yang lebih kuat memiliki keuntungan dalam pengembangan dan adopsi AI. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dihadapkan pada tantangan untuk mengejar ketertinggalan, dan tanpa upaya serius dari pemerintah, sektor ini bisa semakin memunculkan ketidakadilan sosial yang lebih mendalam. Fenomena ini mengingatkan kita pada pepatah Jawa: "Ngunduh wohing pakarti," yang berarti kita menuai apa yang kita tanam. Tanpa persiapan yang matang, ketimpangan ini bisa menghambat laju perkembangan negara.

Pendidikan adalah kunci untuk menghadapi tantangan ini. Kurikulum yang berbasis literasi digital harus mulai diterapkan sejak dini agar generasi mendatang tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga mampu menciptakan inovasi. Ini bukan hanya soal mengajarkan penggunaan perangkat teknologi, tetapi juga mengajarkan cara berpikir kritis dalam menghadapinya.

Selain itu, pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja yang terancam oleh otomatisasi menjadi langkah penting yang harus segera diimplementasikan. Misalnya, seorang akuntan yang kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh AI bisa dilatih menjadi analis data atau bahkan ahli dalam bidang teknologi AI itu sendiri. Program pelatihan seperti ini memerlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk menciptakan program pelatihan yang relevan dan aksesibel.

Di tengah gencarnya transformasi digital ini, Indonesia harus berkomitmen untuk memperkuat infrastruktur teknologi di seluruh daerah, khususnya di daerah-daerah terpencil, agar tidak ada yang tertinggal dalam perkembangan teknologi. Jika tidak, ketimpangan digital hanya akan semakin memperburuk ketidaksetaraan sosial yang ada.

AI memang luar biasa, namun tetap tidak memiliki empati, intuisi, atau nilai moral yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu, peran manusia sebagai pengendali teknologi tetap sangat penting. Seperti halnya dalang dalam pertunjukan wayang, manusia harus mampu mengarahkan teknologi ini agar berjalan pada jalur yang benar, yakni untuk melayani kepentingan dan kebutuhan manusia.

Dalam konteks ini, Indonesia dapat memanfaatkan kearifan lokal untuk membimbing penggunaan AI dengan bijaksana. Misalnya, nilai gotong royong yang terkandung dalam budaya Indonesia dapat diterapkan dalam adopsi AI, sehingga teknologi ini tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau perusahaan besar, tetapi juga masyarakat luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun