Mohon tunggu...
Moehammad Abdoe
Moehammad Abdoe Mohon Tunggu... Penulis - Sastrawan Indonesia

Moehammad Abdoe, lahir di Malang, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, menulis puisi, cerpen, dan opini di media massa nasional.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fobia

9 September 2020   15:42 Diperbarui: 9 September 2020   15:48 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ANAK itu bernama Habibi. Semua kawan di sekolah mengenalnya sebagai anak dengan fobia paling aneh. Sekujur badannya mengalir keringat dingin. Gatal-gatal dan sangat merasa ketakutan.

Duduk jongkok memeluk lutut di sudut kelas ketika jam istirahat. Di antara bangku-bangku panjang dan kerumunan anak. Kuku di tangannya saling mencakar ke seluruh bagian tubuh yang gatal, seperti sedang merobek-robek kulitnya. 

Amis darah serta daki kotor di kukunya tentu juga meracik sebuah aroma bangar. Menjijikkan. Memproduksi nanah dari bekas lukanya yang belum sempat kering sebelumnya. Tampak semakin buruk karena mendapat perlakuan yang kasar. 

Kali ini, Habibi sangat membenci hidupnya. Bahkan, jauh lebih benci dari kawan-kawannya sendiri yang selalu memandangnya rendah dan kerap memaki-maki. 

"Anak bodoh! Membaca saja tak lancar. Pantas jika tak naik kelas." Mereka tertawa.

Habibi diam. Takut. 

Tidak! Itu semacam tuduhan telanjang bagi mereka. Habibi tidak punya kawan. Dia hanyalah anak aneh di sekolah ini. Terutama di mata Sanu dan Ramon. Dua anak itu sengaja memasukkan buah rambutan ke dalam tasnya. 

Suasana di kelas menjadi keruh dan semakin panik. Melihat nyalang matanya, Habibi lebih tampak seperti orang sedang kerasukan setan. Kejang-kejang. Dari mulutnya keluar semacam busa. Sangat mengerikan. 

Langit-langit ruangan itu bukan lagi papan kosong. Semacam halusinasi, netra bawah sadar Habibi dapat melihat pusaran air yang membawa rohnya kembali ke masa lalu. 

"Mengapa Ibu tak kunjung pulang, Mak," Habibi kecil bertanya. Dia memanggil kakak perempuan dari ayahnya memang dengan sebutan "Emak". 

Larasati mengasuh Habibi karena memang dulu orang tua kandungnya harus mengadu nasib ke luar negeri. Saat itu, Habibi ditinggal masih berusia 35 hari, atau kalau orang Jawa bilang; selapan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun