Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam sekolah, menjadi guru dalam arti yang spesial, yakni pembentuk akal dan jiwa anak-anak... Ir. Soekarno dalam Buku Di Bawah Bendera Revolusi
Perpaduan nalar dan hati dalam proses mendidik sangat dibutuhkan, tidak hanya sekedar transfer pengetahuan, sesuatu yang sudah biasa kita alami, rasakan, dan dilihat dalam pesekolahan kita saat ini. Proses mendidik butuh kepekaan hati, ketulusan jiwa, dan kesadaraan penuh sebagai seorang guru. Profesi guru merupakan tugas mulia sebagai tonggak membangun masa depan kehidupan bangsa. Peran guru memiliki posisi sentral dalam membangun peradaban bangsa. Menilik ke belakang, pada zaman dulu guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru sebagai rujukan tempat bertanya dalam mengatasi problem warga masyarakat di sekitarnya. Guru yang dihormati, disegani dan menjadi. Realitas hari ini sosok guru sudah mulai kehilangan jati dirinya, mulai memudar digugu dan ditiru, bahkan ada "oknum" guru yang melakukan tindakan yang melanggar norma kehidupan bermasyarakat.Menyoal Program PPGTelaah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 87 Tahun 2013 tentang Program Pendidikan Guru (PPG) Prajabatan Pasal 1 ayat 2 disebutkan Program Profesi Guru Prajabatan yang selanjutnya disebut program PPG adalah program Pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 KePendidikan dan S1/DIV NonkePendidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional Pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat guru profesional pada Pendidikan anak usia dini, Pendidikan dasar, dan Pendidikan menengah. Selanjutnya dalam Pasal 2 point (a) Tujuan program PPG untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran. Kemudian yang menjadi paradoks adalah apakah selama ini input mahasiswa yang masuk ke LPTK (Perguruan Tinggi eks-IKIP dan STKIP) kurang mempunyai bakat dan minat menjadi seorang guru? Ataukah sarjana lulusan LPTK sudah tidak kompeten lagi sebagai seorang guru?Persoalan kemudian adalah sarjana lulusan LPTK secara de jure tidak mempunyai kewenangan untuk mengajar, walaupun secara de facto selama proses perkuliahan telah dibekali dengan mata kuliah yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Sehingga seharusnya punya kewenangan untuk mengajar sebagai guru, yang sudah melekat dan menjadi indentitas sarjana lulusan LPTK. Sarjana LPTK tidak lagi mendapatkan Akta IV sebagai legalisasi pendidik, namun hanya mendapatkan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) sebagai instrument tambahan kemampuan lain yang telah dimiliki. Berkaitan dengan historis pendirian Sekolah Pendidikan Guru (SPG) --Pendidikan jenjang menengah guru-, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Akta IV lebih sepadan dibandingkan dengan SKPI, karena dengan Akta IV mempunyai hak dan legalisasi sebagai pendidik sangat selaras secara historis dengan awal didirikannya LPTK dalam melahirkan guru pada tingkat usia dini, dasar dan menengah. Sehingga kita sampai pada pemikiran apakah lulusan sarjana yang dihasilkan LPTK seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Padang (UNP), STKIP, dan FKIP baik negeri maupun swasta sudah tidak mampu melahirkan guru yang berkualitas (baca: professional)? Bila persoalannya kualitas lulusan yang rendah (yang sampai saat ini belum ada data, riset yang menunjukan kualitas guru secara nasional rendah) maka yang harus diperbaiki adalah desain, metode dan sistem perkuliahan di LPTK itu sendiri, mencari formulasi proses pendidikan keguruan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dunia.Nalar - Nalar MendidikMenjadi guru merupakan proses yang panjang bukan hanya sekedar jalan pintas yang bisa ditempuh oleh semua orang. Sejak kecil banyak anak --anak kita yang bercita-cita ingin menjadi seorang Guru. Tertanam dalam hati dan pikiran sosok guru yang baik, menyenangkan, mampu menumbuhkan motivasi belajar, menumbuhkan kedisiplinan, bahkan menjadi tempat berlindung dari segala kesusahan hidup yang dialami. Demikianlah adanya sosok guru berkualitas sehingga mampu menumbuhkan cita-cita anak didiknya.
Beberapa tahun ke belakangan media sosial disuguhkan dengan berita kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru ketika mengajar di kelas. Mungkin tidak semua guru seperti itu hanya sebagian kecil yang berperilaku "keras" terhadap siswanya. Tentunya kita sangat miris, bila proses dalam Pendidikan menjadi seorang gurunya benar, kecil kemungkinan akan terjadi kekerasan dalam proses pembelajaran, belajar kuliah Psikologi Perkembangan Peserata Didik dan Psikologi Pembelajaran, calon guru dibekali pengetahuan tentang berbagai karakter siswa, ada yang cepat dan lambat belajar, ada yang pendiam, aktif, bahkan hiper-aktif (nakal), sehingga guru mampu melakukan berbagai pendekatan yang berbeda dalam proses pembelajaran. Dengan kuliah Proses Belajar Mengajar guru mampu menyuguhkan pembelajaran yang menarik, menyenangkan tidak membosankan. Dengan kuliah Landasan Pendidikan guru dibekali dengan nilai-nilai untuk memperkokoh bakat, dan minat sebagai calon guru, dan berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi guru. Proses menjadi guru dipersiapkan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Proses menjadi guru ini ditempa kurang lebih empat sampai empat setengah tahun, mulai dari semester satu sampai semester delapan atau sembilan, tidak dilakukan secara "instan". Karena menjadi seorang guru bukan sekedar kerja alihan, kerja sampingan, ataupun karena sudah tidak diterima kerja di tempat lain, sehingga bisa dengan instan menjadi guru. Bahkan cita-cita seorang menjadi guru sudah tertanam semenjak anak-anak, menjadi seorang guru butuh perjalanan panjang.
Eksistensi LPTK
Persepektif lainnya tentang keberadaan LPTK eks IKIP yang bermetamorfosis menjadi universitas dengan mengemban tugas lain dalam pengembangan keilmuan di luar pendidikan (non-dik) tidak ada salahnya, namun demikian core terhadap pendidikan dan proses pendidikan guru harus menjadi acuan utama, sehingga LPTK tidak kehilangan eksistensi sebagai lembaga yang melahirkan guru. Caranya dengan re-desain program perkuliahan yang menghasilkan guru professional yang mampu melakukan, proses pembelajaran, pembimbingan, pelatihan peserta didik dan mengembangkan profesi guru secara berkelanjutan. Secara historis, institusi kelembagaan, proses dan out put lulusan, kewenangan dan hak sebagai guru sudah melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan pada sarjana lulusan LPTK.
Konstruksi pembentukan PPG sebaiknya diposisikan untuk meningkatkan kemampauan guru scara berkelanjutan, bukan untuk melahirkan guru. Peningkatan kompetensi guru yang diklasifikasikan dalam Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional dilakukan secara bertahap dan berjenjang untuk membekali kemampuan guru yang masih berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke. Sehingga ke depan standar kompetensi guru yang masih rendah secara terus menerus bisa ditingkatkan. Pada akhirnya, guru yang berkualitas (professional), proses pendidikan yang berkulitas, lulusan sekolah yang bermutu akan tercapai.
Epilog.
Hak setiap orang untuk menjadi guru, menjadi pendidik bagi generasi karena menjadi guru merupakan tugas mulia. Namun demikian, proses menjadi guru bukanlah perkara instan, butuh kesungguhan, kerja keras dalam menjalaninya. Ruang untuk menjadi guru masih dimungkinkan untuk setiap orang yang tidak mengenyam pendidikan di LPTK, tapi tidak menghapus hak dan kewenangan lulusan LPTK untuk menjadi guru yang telah digariskan sejak masuk perkuliahan, bahkan menjadi cita-cita dan impian di masa kanak-kanak.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI