Setiap manusia membutuhkan manusia lain dalam kehidupan fana ini. Bila dikaitkan dengan romantika, manusia lain itu disebut kekasih atau pendamping.Â
Saat kehidupan urban mulai dibatasi oleh rutinitas pekerjaan, kesempatan bersosialisasi dan mencari calon pasangan pun menjadi sulit didapat. Mencoba menemukannya melalui keanggotaan bermacam klub, mulai dari pusat kebugaran hingga komunitas pencicip anggur sebagai contoh, cenderung menghabiskan waktu. Kurang efektif. Apalagi bila berkhayal dan menunggu bertemu jodoh melalui berpapasan atau bertubrukan di jalan layaknya adegan sinetron.
Masyarakat urban pun mulai berpikir kritis dan praktis. Sebuah cara menemukan jodoh yang sudah berlangsung ratusan tahun dibangkitkan kembali. Apa itu? Meminta bantuan seorang matchmaker atau lebih dikenal dengan istilah mak comblang.
Menemukan pasangan hidup dengan bantuan pihak ketiga memang bagian tradisi dalam kehidupan sosial. Berbeda dengan konsep matchmaker ala Siti Nurbaya yang tragis, perjodohan yang dibahas disini tak mengandung unsur paksaan, namun lebih kepada upaya mempertemukan pria dan wanita yang sebelumnya tak saling kenal oleh pihak ketiga yang merasa keduanya akan cocok satu sama lain.
Praktik ini sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Lembar demi lembar literatur mengungkapkannya. Pada tahun 1815 saja, sastrawati Jane Austen menggambarkannya dalam novel berjudul Emma. Sedangkan dalam sastra terkini, dalam abad 21, novel debut Bergdorf Blondes yang ditulis Plum Sykes (sosialita New York yang berkontribusi pada majalah Vogue, Vanity Fair dan saluran televisi E!), menuturkan fenomena wanita-wanita kelas atas yang ingin segera berumah tangga dengan bantuan seorang matchmaker.
Sykes menceritakan bagaimana wanita kosmopolitan menggambarkan ciri-ciri dan karakter pria impiannya kepada seorang matchmaker, wanita paruh baya yang mengenal semua pria lintas-usia yang lajang di arena pergaulan sosialita New York. Selanjutnya, matchmakerini akan mengatur pertemuan 'tak terencana' melalui intervensi pengaturan kursi di meja makan undangan pada pesta-pesta atau kegiatan amal.
Dalam sinematografi pun perjodohan pasang aksi. Anda ingat episode ketiga di musim pertama Sex and the City? Tokoh Carrie Bradshaw diundang makan siang oleh kedua temannya yang sudah menikah dan, secara kebetulan(!), mereka bertemu rekan pria pasangan itu. Tentu saja pria 'tak diundang' itu masih lajang dan diperkenalkan pada Carrie.
Seorang matchmaker bisa kita temukan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Ia bisa saja seorang saudara dekat yang lebih tua dan mengetahui siapa saja kerabat yang belum mengirim undangan pesta pernikahan. Matchmakerbisa ditemukan diantara teman atau kolega. Tanpa diminta, seseorang yang berbakat mak comblang akan serta merta menawarkan kenalannya apabila ia mengetahui Anda masih sendiri.
Dalam menemukan pasangan hidup, mungkin kita tak ingin merepotkan teman atau saudara. Hal ini bisa disebabkan perasaan bersalah atau tak enak apabila hubungan dengan pria atau wanita yang direkomendasikan tak berjalan sesuai rencana. Daripada mengganggu hubungan persaudaraan yang terjalin sekian lama, mereka pun beralih kepada pihak ketiga yang netral dan 'aman'. Apalagi tidak semua pria dan wanita ingin usahanya menemukan pendamping hidup diketahui orang banyak.
Dengan kemajuan teknologi, peran seorang matchmaker sempat tergantikan media cetak, telekomunikasi dan internet. Dunia matchmaker melalui layanan publik tertua bisa jadi surat kabar. Hampir setiap surat kabar memiliki kolom biro jodoh yang merahasiakan alamat para anggotanya. Saat penggunaan layanan telepon bernomor premium naik daun, siapa yang tidak kenal istilah party-line yang menyajikan wajah-wajah menarik dalam iklannya? Kemudian ada situs-situs perjodohan, baik yang gratis maupun tidak, yang memudahkan jutaan pria dan wanita mencari sosok pendamping hidup.
Namun tak jarang kita mendengar cerita tentang oknum-oknum yang memalsukan identitas dan foto dalam dunia maya. Tak jarang pula ada maksud-maksud tersembunyi berupa motif ekonomi ataupun kepuasan sesaat. Peran seorang manusia yang normal, terutama bila ia merupakan sahabat atau saudara, kembali lebih masuk akal dan terpercaya.
Kehadiran matchmaker profesional baik secara perorangan maupun korporat menjadi solusi terbaik hingga saat ini. Di Amerika Serikat ada Professional Dater yang didirikan Alma Rubenstein (pernah berkontribusi dalam reality show The Bachelor). Â Sementara di Indonesia, istilah professional dating service dipelopori oleh Table For Two, satu dekade silam.Â
Secara personal, para staf Table For Two mengatur pertemuan antar anggota yang dianggap cocok melalui kencan. Setelah kencan, mereka memastikan apakah kencan ini cukup menjanjikan atau tidak. Bila diperlukan, kencan dengan anggota lain akan dijadwalkan sampai anggotanya menemukan calon pasangan yang sesuai.
Menggunakan jasa matchmaker berupa dating service memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, para anggota bisa menyempitkan ruang lingkup pencarian jodoh mereka menjadi lebih spesifik, baik melalui latar belakang sosial maupun ekonomi. Dating service juga menyediakan waktu bagi anggotanya untuk diwawancarai sebagai referensi staf dalam menemukan prospek pasangan.
Para anggota juga tak perlu repot-repot memikirkan detil-detil seperti waktu dan tempat pertemuan. Kekurangannya hanya satu, yaitu keberuntungan mereka bertemu belahan jiwa yang benar-benar 'klik' bergantung pada kompetensi para staf layanan kencan ini.
Bagaimana dengan Anda? Apakah merasa kesulitan menemukan kekasih karena terlalu sibuk dan tak sempat bersosialisasi? Bila kerinduan akan pendamping hidup sudah merasuki diri, menghubungi seorang matchmaker andal mungkin menempati urutan teratas to do list saat ini. Ingatlah bahwa tak ada yang pasti mengenai asal-muasal pertemuan anda dengan jodoh. Karena itu, kenapa tak mencoba peruntungan melalui bantuan seorang matchmaker?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H