Mohon tunggu...
Nikita W
Nikita W Mohon Tunggu... -

Just an ordinary citizen voicing my opinion.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penggusuran Jatinegara Barat: Loh Kok Gitu Sih?

31 Agustus 2014   07:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:01 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Satpol PP menertibkan gubuk PKL di Kali Baru, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (13/8/2014) pagi (Kompas.com/Robertus Belarminus)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Petugas Satpol PP menertibkan gubuk PKL di Kali Baru, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (13/8/2014) pagi (Kompas.com/Robertus Belarminus)"][/caption] Pagi itu perempatan lampu merah di Cawang Kavling sudah mulai padat dan untuk arah ke Jatinegara cenderung tak bergerak. Saya pikir mungkin ada salah satu lampu merah yang mati lagi yang mengakibatkan gridlock di perempatan sepanjang jalan Otista Raya ini. Selepas dari macet ini saya tidak berpikir terlalu banyak, namanya juga Jakarta - yang aneh ya kalau ngga macet. Ternyata, kemacetan pagi itu disebabkan oleh pembongkaran paksa Satpol PP kepada 13 toko yang berada di Jalan Jatinegara Barat untuk normalisasi Sungai Ciliwung. Salah satu dari ke-13 toko tersebut adalah saudara dekat yang membuat seluruh keluarga besar turun tangan membantu memindahkan barang karena minimnya waktu yang diberikan. Dengan maraknya berita tentang kelangkaan BBM, pertemuan Jokowi dengan SBY dan hujatan-hujatan Florence si Mahasiswa UGM itu tampaknya berita mengenai penggusuran Jatinegara Barat ini menjadi berita basi, namun tidak begitu untuk para korban penggusuran ini yang terpaksa harus numpang dan kehilangan mata pencahariannya. Pada intinya saya pribadi maupun keluarga yang terkena dampak tidak berkeberatan dengan ide normalisasi Sungai Ciliwung. Apabila memang harus kena gusur, yah apa boleh buat... asalkan jalan yang ditempuh Pemprov yang adil dan sopan. Kenapa saya bilang tidak adil dan tidak sopan? 1. 2-day notice Surat peringatan baru diterima penduduk hari Senin dan pembongkaran dilakukan Rabu pagi, hanya 2 hari saja yang diberikan untuk warga mengemas barang-barang dagangan serta barang-barang rumah tangganya. Sapu, ngepel lantai beresin rumah aja biasanya seharian - lah ini disuruh mengemas "kehidupannya" dalam waktu 2 hari? Harap diingat bahwa mereka-mereka ini sudah berada di tempat tersebut selama puluhan tahun dan Bapak-Bapak Satpol PP dan Pemprov ini mengharapkan mereka siap dalam 2 hari? Mereka bukan Malin Kundang dan Roro Jonggrang, Pak yang tinggal kerjap-kerjap mata, jadi. 2. Ganti Rugi... disusulkan Kasarnya begini, Pemprov mengambil sesuatu yang bukan milik mereka (dengan paksa) dan tidak/belum mengganti atas kerugian yang ditimbulkan. Kalau caranya seperti ini, apa yang membedakan Pemprov dengan preman-preman yang saban kali ditertibkan oleh Satpol PP itu sendiri? Tidak ada yang tahu kapan dan berapa yang akan digantikan, sekarang bangunan mereka sudah berupa gundukan beton - siapa yang akan tanggung jawab dan bagaimana meminta pertanggungjawaban tersebut. Secara akal sehat seharusnya dilakukan ganti rugi dahulu baru pengosongan dan penertiban bukan? 3. Double standard? Yang juga menjadi pertanyaan di benak saya adalah tentang perlakuan yang berbeda dengan warga lain yang sudah dan akan terkena gusuran. Seperti warga di Kampung Pulo misalnya yang jelas-jelas berada di bedeng-bedeng pinggir Sungai Ciliwung yang hendak direlokasi ke Rusunawa Cipinang Besar Selatan yang segala fasilitasnya sudah disiapkan namun masih enggan hengkang karena mereka menuntut 'ganti rugi' untuk sesuatu yang bukan milik mereka (mohon dikoreksi apabila salah). Bukankah seharusnya prioritas utama adalah memindahkan warga ini? 4. Rightful owner Dari tadi saya sebutkan bahwa hal ini (menurut saya, kasarnya) adalah perampasan hak milik. Kenapa? Karena banyak, kalau tidak semua - dari bangunan-bangunan ini sudah berdiri sejak tahun '50-an, bersertifikat Hak Milik. Keluarga-keluarga ini sudah berdagang secara turun-temurun di situ. Mereka membayar pajak, membesarkan keluarga, mencari nafkah dan juga menyediakan lapangan pekerjaan ke banyak orang lainnya dengan pekerjaan yang halal. Masalah tidak ada IMB, mohon dicek kembali apakah ada Ijin Mendirikan Bangungan di tahun '50 an? Mereka berhak untuk tinggal dan hidup di dalam bangunan-bangunan beton ini dan seharusnya Pemerintah menghormati hak mereka tersebut. 5. Arogansi dan Buang bodi Kelakuan para Satpol PP yang bertugas pun mungkin harus ditatar lebih lanjut untuk ke depannya. Tidak ada yang dapat memberikan penjelasan secara gamblang dan menyeluruh tentang pertanyaan dan keluhan yangg disampaikan warga. Jawaban standar yang diucapkan adalah "sudah ada instruksi dari Gubernur DKI". Mungkin tidak dapat disalahkan bapak-bapak ini yang hanya menjalankan perintah saja namun layer yang berada di atas mereka pun tidak dapat memberikan tanggapan yang memuaskan. Ignorance or arrogance? I cannot tell. Agar tidak seudzon saya tidak ingin langsung menyalahkan DKI 1 karena saya mengerti masih banyak lapisan dari DKI 1 sampai ke lapisan bawah yang melakukan the dirty job. Karena waktu PilGub yang lalu saya memilih Jokowi/Ahok - maka saya merasa berhak untuk bertanya dan mengkritisi tindakan-tindakan DKI1 yang membuat saya mengerutkan kening dan berdiskusi panjang lebar. Apakah ini cara yang lazim dalam melakukan penggusuran - Gusur Sekarang Bayar Belakangan? Sangat berbeda dengan berita yang sering saya baca dan tonton di media. Apakah karena toko-toko ini banyak dihuni oleh kakek dan nenek keturunan Tionghoa tanpa backup preman pasar jadi lebih mudah untuk digusur dengan paksa? Kapan dan oleh siapakah proses ganti rugi akan hak milik mereka akan dirampungkan? Siapa yang menetapkan timeline sosialisasi dan kenapa sangat sempit sekali? Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin patutnya ditanyakan kepada rumput-rumput yang bergoyang karena tidak ada yang bisa menjawabnya. Mengingat para korban gusuran Jatinegara Barat ini, it's the least I can do. Mereka memang tidak berada di tenda darurat atau makan indomie sumbangan - namun sangat miris melihat dan mendengar cara mereka diperlakukan. Jadi Koh Ahok, kalau begini caranya it's a long, winding, treacherous way to go to Jakarta Baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun