Dor
Dor
Dor
Tiga tembakan terakhir dilepaskan oleh salah satu anak buahku. Peluru itu melesat tepat di jantung Doni, adik tiriku yang sering memperlakukanku layaknya binatang. Baru kali ini aku merasakan darah segar yang menempel di kakiku dengan perasaan bahagia. Namun, hatiku belum merasa puas dibandingkan semua kejahatan yang pernah keluarga ini lakukan kepadaku.
Setapak demi setapak kakiku melangkah menuju perempuan yang selama ini aku anggap sebagai mama tiriku itu. Dengan tangan dan mulut yang disegel, dia hanya bisa menyucurkan air mata menyaksikan anak bungsunya terbunuh dengan sadis.
"Maaaaah, mama gak papa kan?" Sapaku, mengelus-elus rambutnya yang acak-acakan. "Mama tenang aja, sebentar lagi mama akan ketemu lagi sama Doni." Kutarik rambut perempuan itu sampai menjerit kesakitan.
Mata mama melototiku dan mulutnya bergerak-gerak, seakan-akan ada yang mau ia katakan. Aku pun membuka lakban yang yang ada di mulutnya dan sepontan mama meludahi wajahku. Aku tersenyum dan tertawa ringan. Tanpa pikir panjang, kuambil pukulan besi yang ada di tangan anak buahku, lalu kupulkan ke kepala mama, sampai mebuatnya tergeletak dengan kepala yang berlumuran darah.
"Cek perempuan itu!" Titahku ke salah satu anak buahku.
"Siap bos." Ia pun memeriksa pernafasan mama. "Dia belum mati." Kata anak buahku.
Tak lama dari itu, mama tersadar dan mulai membuka matanya.
"Baguslah, mama belum mati. Aku masih ingin mama menderita dan mati perlahan." Ucapku yang kala itu duduk di sofa, memakan apel, dengan posisi kaki yang tersusun di atas meja.
"Lisa, cukup! Kamu udah kelewatan." Mata mama melotot dan masih berani membentak-bentak di hadapanku.
"Hhh, kelewatan? Setelah mama membunuh mama kandungku dan membuatku menderita layaknya seorang budak. Parahnya lagi, mama yang menyebabkan kematian papa dan telah merampas semua harta kekayaannya." Tegasku dengan nada agak naik.
Perempuan paruh baya itu tertawa histeris mendengarkan ucapanku. "Dasar anak bodoh." Wanita itu masih sempat melontarkan kata-kata kotornya di hadapanku, sebagaimana yang acap kali ia katakan saat aku melakukan kesalahan dalam pekerjaanku. Itu membuat tekanan darahku naik. Aku refleks menghantam mama tiriku itu dengan vas bunga, sampai membuat wajahnya hancur tergores oleh pecahan-pecahan kaca dari vas busa itu.
"Maaf ya maaa, kalau itu sedikit sakit." Ejekku.
"Oh iya, sebelum mama mati, aku punya kejutan lagi untuk mama." Ucapku, menoleh ke kamar Kak Rara di lantai dua.
"Jangan coba-coba kau sentuh Rara!" Lagi-lagi tua bangka itu membentakku, tapi kustel tuli telingaku tanpa menggubris ocehannya.
Aku pun menaiki tangga untuk menjemput Kak Rara. Kakiku yang melangkah perlahan membuat suara sepatuku mendominasi. Tanpa kusadari mama hampir menikamku dari belakang dengan pisau pemotong buah yang ada di tangannya. Beruntung anak buahku sangat cerdik. Begitu melihat mama mengambil ancang-ancang menikamku, sepontan mereka menembak kedua kaki mama, sehingga membuatnya lumpuh tak berkutik.
***
Tok
Tok
Tok
"Kak Rara..." ia tidak merespon panggilanku.
"Kaaak, buka pintunya kak." Aku gerak-gerakkan gagang pintu kamar Kak Rara dengan keras.
Ceklek
Ceklek
Ceklek
"PERGI!" Teriak Kak Rara dari dalam kamar
Aku terus gerak-gerakkan gagang pintu itu, sampai akhirnya rusak dan pintu kamar Kak Rara terbuka sendirinya. Saat aku masuk ke dalam, terlihat Kak Rara berat di sudut kamarnya dengan posisi berjongkok, terngengeh ketakutan. Ditemani dengan boneka yang ia peluk, ia menutup telinganya dengan kedua tangannya.
Dari raut wajahnya, Kak Rara tampak sok dan panik saat melihat wajahku, tak ubahnya kambing kecil yang tertinggal dari kawanannya saat melihat seekor serigala yang akan menerkamnya.
"Kak Rara jangan takut, aku masih polos kayak dulu kok." Kuusap kedua pipi Kak Rara yang dibasahi genangan air mata.
"Lisa, maafin kakak!" Kakak tiriku itu mengepal kedua tangannya di hadapanku, mengharap aku mengasihinya.
Sepintas aku merasa kasihan melihat Kak Rara yang bertekuk lutut di hadapanku. Tapi kalau mengingat apa yang pernah ia lakukan kepadaku, dengan membuatku menjadi bahan tertawaan para siswa seantero sekolah, maka jalan untuk menebus dosanya hanya satu. Dia harus mati di tanganku.
Tanpa sepatah kata, aku tarik rambut Kak Rara, lalu menyeretnya keluar.
"Maaah, tolong aku mah!" Kak Rara menjerit dan memanggil-manggil mama.
Sampai di depan pintu kamar, aku jambakkan kepala Kak Rara ke pagar besi. Ia pun pingsan dengan kepala yang mengalirkan darah.
"RARAAA." Teriak mama, melihat Kak Rara yang mengenaskan.
"Mama pengen bertemu Kak Rara?" Tanyaku, menenteng rambut Kak Rara. "Tangkap ya maaah!" Badan Kak Rara kutendang dari depan kamarnya, membuat tubuhnya berguling-guling sampai lantai dasar.
"Dasar iblis." Mama mencaciku dengan melemparkan raut wajah yang murka.
Kak Rara yang kala itu sekarat layaknya hewan yang disembelih, berada di pangkuan mama. Begitulah karma, seorang pembunuh sudah sepantasnya dibunuh. Aku pun turun untuk menyelesaikan pembalasan dendam ini. Tidak akan aku biarkan satupun dari keluarga ini berjalan di atas muka bumi. Mereka semua akan kukirim ke neraka.
"Berikan itu padaku!" Pintaku, mengadahkan kedua tangan. Anak buahku memberikan kedua pistol yang ada di tangan kepadaku. Aku ingin mereka berdua hanya mati dengan tanganku.
"Tiga...Dua..." Aku hitung mundur, mengarahkan kedua pistol itu tepat ke kepala mama dan Kak Rara.
Mama hanya bisa menangis, meratapi ajal yang akan menjemputnya dan putri kesayangannya itu. Ia memeluk kepala Kak Rara yang berada di pangkuannya, dengan menutup kedua mata, seolah-olah bersiap untuk menjemput kematian.
"TUNGGUUU!" Terdengar suara yang tidak asing di telingaku dari luar.
Saat kuarahkan pandanganku pada suara itu, ternyata itu Justin. Dia adalah pria yang kusukai di sekolah, yang selalu membantuku saat ada orang yang ingin menyakitiku.
"Lisa, apa yang telah kau lakukan? Kau tidak seharusnya melakukan semua ini." Justin membujukku untuk mengakhiri pembantaian ini. Tapi tekadku untuk memutus mata rantai keluarga ini sudah bulat.
"Justin, maafkan aku." Kutarik kedua pelatuk pistol itu.
Dor
Tubuhku menjadi lemas, lalu terjatuh.
"LISAAA." Teriak Justin, menangkap tubuhku dan merangkulnya.
"Jangan bergerak!" Segerombolan polisi datang, menangkap semua anak buahku dan menyeretnya keluar.
Air mata Justin membasahi pipiku. Ia menangis tersedu-sedu melihatku yang tak berdaya. Peluru itu mematahkan beberapa tulang rusukku dan menembus ke dalam jantungku. Rasanya sangat sakit. Tetapi aku senang, orang yang kucintai mendampingiku saat sebelum aku pergi.
"Justin, kau harus tahu satu hal."
Justin hanya menundukkan kepala dan terus meneteskan air mata.
"Kau adalah satu-satunya orang yang aku cintai di dunia ini." Justin hilang dari pandanganku dan semuanya menjadi gelap.
Tamat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H