"Baguslah, mama belum mati. Aku masih ingin mama menderita dan mati perlahan." Ucapku yang kala itu duduk di sofa, memakan apel, dengan posisi kaki yang tersusun di atas meja.
"Lisa, cukup! Kamu udah kelewatan." Mata mama melotot dan masih berani membentak-bentak di hadapanku.
"Hhh, kelewatan? Setelah mama membunuh mama kandungku dan membuatku menderita layaknya seorang budak. Parahnya lagi, mama yang menyebabkan kematian papa dan telah merampas semua harta kekayaannya." Tegasku dengan nada agak naik.
Perempuan paruh baya itu tertawa histeris mendengarkan ucapanku. "Dasar anak bodoh." Wanita itu masih sempat melontarkan kata-kata kotornya di hadapanku, sebagaimana yang acap kali ia katakan saat aku melakukan kesalahan dalam pekerjaanku. Itu membuat tekanan darahku naik. Aku refleks menghantam mama tiriku itu dengan vas bunga, sampai membuat wajahnya hancur tergores oleh pecahan-pecahan kaca dari vas busa itu.
"Maaf ya maaa, kalau itu sedikit sakit." Ejekku.
"Oh iya, sebelum mama mati, aku punya kejutan lagi untuk mama." Ucapku, menoleh ke kamar Kak Rara di lantai dua.
"Jangan coba-coba kau sentuh Rara!" Lagi-lagi tua bangka itu membentakku, tapi kustel tuli telingaku tanpa menggubris ocehannya.
Aku pun menaiki tangga untuk menjemput Kak Rara. Kakiku yang melangkah perlahan membuat suara sepatuku mendominasi. Tanpa kusadari mama hampir menikamku dari belakang dengan pisau pemotong buah yang ada di tangannya. Beruntung anak buahku sangat cerdik. Begitu melihat mama mengambil ancang-ancang menikamku, sepontan mereka menembak kedua kaki mama, sehingga membuatnya lumpuh tak berkutik.
***
Tok
Tok
Tok