Sejak kemunculan pertama kali 80 tahun silam, ungkapan "jangan menilai buku dari sampulnya" yang berasal dari edisi 1944 African Journal of American Speech masih sangat relevan. Tak hanya sekali penulis mendapatkan pelajaran dari pepatah ini.
Cerita ini bermula dari teman saya  yang memiliki orangtua bekerja di salah satu bank swasta di tanah air sebut saja Bank B**. Layaknya remaja yang sering bercengkrama setelah pulang sekolah, kami berdua senang singgah di kedai kopi.Â
Saat ingin bergegas pulang, Â sorot mata memandang bapak-bapak paruh baya berpakaian oranye sedang memarkir kendaraan pengunjung kedai kopi dengan rapi bak showroom dealer motor. Lantas teman saya menghampiri memberi selembar uang kertas Rp. 1000 serta mengatakan "terimakasih ya pak". Dijawab oleh bapak itu "terimakasih ya, sehat terus ya mba lancar sekolahnya"
Sontak dalam hati saya terkejut dan bertanya
Thariq : "kenapa kamu mengatakan terimakasih kepadanya ? Bukankah sudah impas uang yang kita berikan atas jasa yang diberikan ? Toh kita juga tidak mengharapkan adanya bapak berompi oranye itu ada di sini...."
Tak lama dengan nada lembut ia menjawabÂ
Sarah : "kamu gaboleh begitu, uang seribu tadi sangat berharga untuknya".Â
Thariq : "Bagaimana kamu tau sarah ?Â
Sarah : "Riq, inget ga setelah kita ngasih selembar uang kertas tadi bapaknya bilang apa ? sehat terus ya mba lancar sekolahnya. Padahal kita cuma ngasih uang seribu rupiah lo tapi di doain yang baik-baik"
Thariq :" Iya juga ya, terus kenapa kamu bilang makasih ?Â