Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol pada akhir-akhir ini oleh DPR banyak menyita perhatian publik. RUU Minol merupakan salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 dan mendapat banyak kecaman oleh masyarakat disamping Omnibus Law yang terlebih dulu disahkan pada bulan oktober lalu. Menjadi pertanyaan juga bagi publik karena merasa RUU ini dianggap tidak terlalu penting dan urgent untuk dibahas.Â
Di sisi lain ada salah satu RUU yang sebenarnya perlu disahkan dan sudah benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat khususnya kaum perempuan, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Pengesahan RUU PKS menjadi sangat penting untuk dilakukan daripada RUU Minol mengingat tren kekerasan seksual yang ada di masyarakat tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Menurut laporan Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, pada tahun 2018 meningkat menjadi 406.178 kasus dan pada tahun 2019 meningkat kembali menjadi 431.471 kasus.
RUU PKS yang terdiri dari 152 pasal merupakan aturan hukum yang berisi semangat untuk melindungi kaum perempuan sebagai mayoritas korban kekerasan seksual. RUU PKS merupakan aturan hukum yang sejak tahun 2012 sudah diajukan oleh Komnas Perempuan, baru pada Mei tahun 2016 RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas, namun RUU PKS mangkrak dan berlalu begitu saja tanpa adanya pengesahan. Berbagai pro dan kontra muncul di masyarakat, mulai dari isu diperbolehkannya zina, isu feminisme dan kebebasan LGBT.Â
Indonesia sebagai negara hukum sebenarnya banyak mempunyai aturan sebagai payung hukum bagi pelanggaran kekerasan seksual. UUD 1945 Pasal 28 huruf A-J, KUH Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT adalah beberapa peraturan yang berisi berbagai macam hak-hak perempuan mulai dari hak anti diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan hukum.Â
Tetapi berbagai aturan hukum yang ada dirasa kurang dan belum efektif dalam menekan kekerasan seksual. Di samping itu, perlindungan terhadap korban juga kurang diperhatikan oleh negara.Â
#1. Bentuk Kekerasan Seksual
Bebagai aturan hukum yang lalu tidak mengatur tentang spesifik mengenai apa saja bentuk kekerasan seksual, padahal dalam perkembangannya bentuk kekerasan seksual bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Pada pasal 11 ayat (2) RUU PKS mengatur lebih lanjut mengenai apa saja bentuk kekerasan seksual, kekerasan seksual terdiri dari :
- pelecehan seksual;
- eksploitasi seksual;
- pemaksaan kontrasepsi;
- pemaksaan aborsi;
- perkosaan;
- pemaksaan perkawinan;
- pemaksaan pelacuran;
- perbudakan seksual; dan/atau
- penyiksaan seksual.
RUU PKS benar-benar mengatur secara komprehensif mengenai apa saja bentuk perilaku yang termasuk kekerasan seksual, baik itu kekerasan seksual secara fisik maupun non-fisik. Dalam pasal 12-20 dijelaskan lebih lanjut mengenai penjelasan tentang bentuk kekerasan seksual yang telah disebutkan pada pasal 11.
#2. Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Tidak hanya penegakan hukum terhadap pelaku, RUU PKS juga berisi bagaimana negara dalam hal ini sebagai pelindung dan pengayom masyrakat memberi berbagai perlindungan hukum dan pemulihan hak-hak korban yang telah mengalami kekerasan seksual.Â