Pemimpin yang idial sejak zaman dulu hingga generasi milenial  masih sering disebut-sebut atau digunakan. Prinsipnya, seorang pemimpin yang idial itu harus memiliki kompetensi pedagogis, kepribadian, profesional dan sosial menjadi harapan bagi setiap generasi ke depan. Harapan yang sudah lama ditanam, bagai belum berubah.
Zaman terus berubah dengan pesatnya, sementara kondisi kepemimpinan di dunia pendidikan tampak masih jalan ditempat. Padahal temuan-temuan, hasil kaji modern telah dengan cepat mengubah ruang pola kehidupan, perilaku, gaya hidup setiap generasi. Gelegar perubahan zaman yang pesat dan cepat itu, menuntut dunia pendidikan untuk mengimbanginya.
Untuk itu dunia pendidikan -- di sekolah -- semakin membutuhkan  tenaga,  sarana dan prasarana yang edukatif dan handal. Namun sayang, pendidikan di sekolah masih belum siap mengantisipasi perubahan dan tuntutan zaman tersebut. Terutama terkait, bagaimana kepemimpinan dalam menjalankan roda pendidikan dan kecepatan lajunya perkembangan teknologi.
Generasi milinial (generasi yang lahir 1981-1996) Â yang kini menyelimuti dunia pendidikan suka tidak suka menuntut seorang pemimpin di sekolah harus mampu tampil sebagai pemimpin yang cakap, menawan, memesona dan penuh dengan harapan ke depan. Karena bagaimanapun, generasi milenial akan lebih kental dengan interaksi data dan informasi, maka tidak bisa ditawar kepemimpin di era milenial harus bisa mengimbangi dengan keinginan dan perkembangan yang ada.
Masa depan bangsa dan negara ini, sangat tergantung bagaimana kepemimpinan sekarang itu berkiprah. Pemimpin yang kreatif, inovatif dan inspiratif dan memiliki wawasan ke depan akan mendorong bangsa ini mencapai tujuan yang diharapkan. Kemudian, bagaimana sebenarnya kepemimpinan yang diidamkan atau yang dirindukan pada masa depan itu - baca abad 21 ?.
Menjadi pemimpin di era milenial, bukan berarti tidak pernah lepas dari kesalahan. Beberapa pemimpin juga pernah melakukan kesalahan ketika bekerja dengan anggota tim yang merupakan generasi milinial. Mereka berharap orang lain untuk melakukan perintahnya, bukan mencotoh aksinya.
Masalahnya sekarang -- zaman milenial -- bahwa orang melakukan apa yang dilihatnya. Jika pemimpin sudah menjadi pemimpin yang dirindukan (diidamkan), memiliki dedikasi tinggi, perhatian dan penuh tanggungjawab, maka model kepemimpinannya  layak untuk diikuti. Sedangkan gaya kepemimpinannya yang idial adalah dengan gaya demokratik. Artinya, gaya kepemimpinannya terlihat dari perihal pemeliharaan hubungan yang menekankan hubungan serasi dengan baawahannya (dengan yang dipimpinnya) memperlakukan sebagai orang dewasa dan menjaga keseimbangan orientasi penyelesaian tugas dan orientasi hubungan yang sifatnya rasional.
Bagaimana kepemimpinan yang dirindukan itu. Rindu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tampak ceria, cerah sekali mukanya -- menyambut kedatangannya. Jika dipandang dari aspek manusia, rindu adalah keniscayaan dan fitrah bagi semua manusia yang memiliki nafsu dan hasrat.
Kerinduan ini tidak lain selain untuk "bertemu" dengan orang yang dirindukan. Sedangkan secara realitas, kerinduan akan muncul ketika seseorang memiliki suatu ikatan emosional atau memiliki pengalaman yang benar-benar membekas dalam dirinya, sehingga ketika ia merasakan kehilangan atau tidak menemukannya, saat itulah kerinduan akan muncul secara tiba-tiba.
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya menandaskan rindu adalah konsekwensi dari adanya mahabbah (cinta) terhadap objek. Dengan cinta, rindu akan datang dengan sendirinya. Rindu sendiri merupakan sesuatu yang sifatnya emosional tinggi untuk bisa bertemu dengan orang yang dirindukan.