Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Sabtu (13/6) mulai memberikan perkuliahan dalam sekolah kebangsaan.  Perkuliahan yang dilaksanakan secara serial melalui platform Zoom Webinar dan disiarkan langsung melalui YouTobe PPKn, You Tobe UAD dan TVMu. Dalam pertemuan perdana itu tampil sebagai  pembicara Dr. Sumaryati, M.Hum, Dra. Tri Wahyuningsih, M.Pd dan Dikdik Baehaqi Arif, M.Pd. Sekolah Kebangsaan diikuti 460 peserta dari sabang sampai meraoke di buka oleh wakil Dekan FKIP, Dr. Dody Hartono, M.Pd. Penulis Kompasiana, Moch. Shidiq, menuliskan bagaimana jalannya sekolah kebangsaan dan apa saja yang di bahas menurunkan laporannya berikut ini :
Filosofi Pancasila bagi masyarakat akademis, sering di dengar, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara banyak dibicangkan. Sebenarnya apa filosofi Pancasila itu, Dr. Sumaryati, M.Hum mengawali dengan bicara ada apa dengan Pancasila. Pancasila sebenarnya sudah ada sejak sebelum bangsa Indonesia ada. Namun, dalam pelaksanaanya hanya sebatas retorika atau masih sebatas verbal, nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya dilaksanakan secara utuh. "Pengamalan Pancasila cenderung baru dilaksanakan sepotong-potong," ujar Sumaryati.
Penyebab mendasarnya adalah masyarakat pada umumnya belum memahaminya Pancasila secara subtansial, utuh, komprehensip. Parahnya lagi, pembelajaran di sekolah terkait dengan dasar negara - Pancasila- dengan metode yang belum utuh, sehingga penanaman nilai-nilai Pancasila juga masih setengah-setengah. Â Akibatnya, masyarakat banyak yang tidak mengenal Pancasila secara khafah - atau yang sebenarnya. "Pancasila tidak cukup hanya di lafalkan, tapi bagaimana mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan di keluarga, masyarakat, bangsa dan negara," tandasnya.
Lebih jauh Sumaryati mengatakan, konsekwensi Pancasila bagi masyarakat, sebenarnya cukup nyata. Artinya, keberadaan Pancasila nyata atau real, dengan begitu tidak ada kerguan  lagi, bahwa Pancasila ada dalam kehidupan Bangsa Indonesia. "Karena ada dan real, maka pelaksanaannya tidak abstrak bisa dilakukan dari hal-hal kecil, kemudian terbentuk karakter yang kokoh, hingga mampu menopang kehidupan bangsa dan negara yang utuh dan berkedaulatan. "Nah dengan cara itu, nilai-nilai Pancasila dapat membumi bagi insan manusia Indonesia," tukasnya.
Dikatakan, nilai-nilai Pancasila pada hakikatnya meliputi niai-nilai adil, hakikat satu, hakikat manusia, rakyat atau demokrasi dan hakikat Tuhan.  "Konsep nilai-nilai ini mampu mendorong tenaga batin manusia yang mampu membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari," tukasnya. Pada dasarnya fitrah manusian  (semangat asal) juga mampu mendorong semangat kejuangan, semangat yang mampu menghasilkan energi kebaikan, pengabdian dan tanggungjawab dan keiklasan dalam keluarga. "Semangat ini harus terus dibumikan, sehingga ke depan Pancasila menjadi sadar masyarakat Indonesia yang sebanr-benarnya".
Sementara Tri Wahyuningsih yang banyak menyoroti nilai-nilai Pancasila dalam era gobal menandaskan bahwa, nilai-nilai Pancasila terbentur atau mendapat tantangan dari berbgai kondisi zaman yang berkembang. Hal ini bisa dilihat merebaknya kapitalis domestik (kapitasis hitam), adanya neoliberalisme, kleptekrokasi dan pemburu rente, anti kontra persatuan dan  fundalisme pasar.  "Tantangan-tantangan ini membuat Pancasila tidak bisa dipahami masyarakat secara komprehensip (utuh), sehingga yang ada dalam mensetnya - pemahaman yang dangkal dan tidak utuh," tukas wanita berkerudung merah ini.
Tri Wahyuni kemudian menyitir pandangan Panggabean dkk mengatakan, nilai-nilai Pancasila pada zaman melinia ini setidak-tidaknya ada 7 nilai yang harus terus didengungkan, yakni religius, guyub, keberagaman, kepemimpinn fasilitatif, komunikasi tersirat dan nrimo. "Ketujuh nilai ini harus ditanamkan pada generasi muda mendatang. Dengan cara itu, nilai-nilai Pancasila akan terus berkumandang dalam kehidupan berbangsa dan negara.," tandasnya.
Membumikan Pancasila juga bisa dilakukan dengan memberikan suri tauladan yang represntatif. "Generasi milinia, generasi Y dan Z nantinya dalam penanaman Pancasila tidaklah mudah , penanamannya  ada tantangan intern dan ekstern. Yang jelas Pancasila tidaklah diusangkan zaman,  justru kian relevan sebagai ikatan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketua program studi PPKn UAD, Dikdik Bachaqi Arif, M.Pd dalam kesempatan ini berbicara Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahada. Menurutnya,  negara Pancasila  merupakan anugrah Alloh SWT atas perjuangan elemen rakyat yang mengandung jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur kemerdekaan. "Muhammadiyah mengartikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al syahadah," tandasnya.
Dalam khazanah figh Islam klasik, para ahli membagi wilayah kekuasaan Islam ke dua kutub, yaitu Dar Al-Islam yang dikuasai mayoritas umat Islam, serta Dar Al-Harb yang dikuasai non muslim. "Namun ada juga konsep Dar A-Al-Ahdi yang dipahami sebagai suatu negara yang terikat dengan perjanjian dengan Dar Al-Islam," tukas Dikdik.
Ditambahkan, konsep negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah memberikan tafsir baru atas NKRI yang didirikan diatas perjanjian seluruh komponen bangsa dan memberikan penegasan pentingnya pembuktian perjanjian itu dalam membangun bangsa dan negara. Â Kemudian, ada keperluan sebagai darus syahadah untuk memberi tafsir dan mengisi negara Pancasila. Karena itu Pancasila bisa bersifat moderat atau berparadigma jalan tengah (the midle way) bagi Bangsa Indonesia.Â