Pendidikan vokasi merupakan model pendidikan yang mengusung keunggulan berupa 70% praktek dan 30% teori dengan harapan dapat menjadi salah satu jawaban dalam permasalahan penyiapan lulusan perguruan tinggi dengan keahlian terapan yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah sangat gencar menggalakkan pendidikan vokasi sebagai salah satu jalur yang dapat ditempuh untuk meningkatkan daya saing bangsa. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan pendidikan vokasi baik di level pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi seperti semboyan "SMK Bisa!" dan pendirian beragam Politeknik baru di berbagai  wilayah negeri ini.
Hal tersebut terus dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya, bahkan menjadi sangat terasa pada level pendidikan tinggi sejak pendidikan tinggi dilepas dari Kemendikbud dan digabungkan ke Kemenristekdikti. Penguatan pendidikan vokasi hingga memiliki label "lulus kuliah langsung kerja" tersebut, tidak heran jika memberikan semangat dan motivasi baru di tengah masyarakat kita yang kemudian beralih minat untuk menyekolahkan putra-putrinya ke pendidikan vokasi daripada di pendidikan akademik. Bahkan di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini dimana pendidikan tinggi dikembalikan ke Kemendikbud, diperkirakan masih akan terus terjadi pengembangan di pendidikan vokasi, terlebih dengan terpilihnya Mendikbud Bapak Nadiem Makarim yang sangat terbuka dengan teknologi informasi.
Dalam pendidikan vokasi terdapat 5 jenis pendidikan vokasi di Indonesia, seperti Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Aliyah Kejuruan, Akademi Komunitas, Politeknik, Â Universitas, dan Balai Latihan Kerja (ADB, 2015). Dalam perjalanan program pendidikan vokasional yang telah dilakukan, ternyata memiliki hambatan khususnya hambatan di bidang ketrampilan dan patriotism. Beberapa contoh hambatan di bidang keterampilan dalam melaksanakan program pendidikan vokasi yaitu:
Berikut adalah hambatan-hambatan yang dibicarakan dalam penerapan program pendidikan vokasional yang berorientasi pada keterampilan dan patriotisme:
1.Paradoks Modernisasi dan Nilai Tradisional
Dalam usaha memodernisasi kurikulum dengan keterampilan terkini, ada tantangan untuk menjaga relevansi nilai-nilai tradisional dan patriotisme. Modernisasi sering kali membawa nilai-nilai global yang bisa menggeser perhatian dari identitas nasional dan budaya lokal.
2.Kompleksitas Pengukuran Nilai Patriotisme
Meskipun keterampilan teknis dapat diukur dengan mudah melalui sertifikasi dan ujian, mengukur internalisasi nilai patriotisme lebih sulit. Ini memerlukan metode evaluasi yang mendalam dan berkelanjutan, yang sering kali tidak menjadi prioritas dalam evaluasi pendidikan vokasional.
3.Ketidaksesuaian Antara Sumber Daya Alam dan Vokasionalisme Lokal
Di beberapa wilayah, program vokasional mungkin tidak disesuaikan dengan potensi sumber daya alam setempat, yang dapat mengurangi rasa keterikatan siswa terhadap wilayah mereka dan menurunkan semangat patriotisme lokal.
4.Dampak Teknologi terhadap Nilai-Nilai SosialÂ