Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan masalah yang mengakar dalam struktur sosial dan politik Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan.Â
Edwin H. Sutherland, seorang sosiolog Amerika, memberikan perspektif mendalam melalui teorinya, Differential Association, serta konsep white-collar crime. Pendekatan ini relevan untuk memahami mengapa korupsi terus terjadi meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya.
Kejahatan kerah putih telah didefinisikan oleh Edwin Sutherland sebagai "kejahatan yang dilakukan oleh orang kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya" (1939).Â
Kejahatan kerah putih, hampir sama dipersepsikan dengan kejahatan korporasi karena yang dilakukan dengan cara penipuan, penyuapan, penggelapan, kejahatan komputer, pelanggaran hak cipta, pencucian uang, pencurian identitas, dan pemalsuan uang.Â
Metode Penelitian adalah Studi Kepustakaan, tujuannnya untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai "white collar crime", hasilnya adalah penerapan hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan "white collar crime", sudah memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). dalam UUD 1945 merupakan prinsip mutlak dalam perspektif HAM. Prinsip ini memberikan landasan bahwa penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, pandang bulu, dan tebang pilih. dan hampir semua negara mengakuinya.Â
Hukum diciptakan untuk memberikan rasa aman dan tertib kepada setiap orang, sehingga dengan hadirnya hukum ditengah-tengah masyarakat dapat memberikan perlindungan yang efektif, dalam mewujudkan tertib hukum dan kepastian hukum, kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat tercermin bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dan pemerintahannya dalam memberikan sanksi kepada pelaku, sehingga hukum dapat dirasakan sebagai "hukum yang hidup" dalam masyarakat.Â
Berbagai bentuk kejahatan yang bermunculan menggambarkan kualitas peta perpolitikan kita yang terus berada di titik nadir. Kita mungkin merasa putus asa dengan aneka masalah di sekitar kita, yang semua ini diperparah dengan berbagai mafia di berbagai instansi pemerintahan yang notabene adalah pion-pion penggerak kesejahteraan rakyat.Â
Di negara kita, yang namanya kejahatan kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah putih di negara yang tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan penegak hukum di Tanah Air.Â
Kejahatan kerah putih yang endemik dan sistemik di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum. Tidak terlalu salah jika kita mengatakan, kejahatan kerah putih di negara ini adalah karakter dari bangsa yang begitu permisif dan kompromis. Hukum dengan mudah diperjualbelikan dengan harga kompromi.Â
Rakyat tetap terpuruk dalam kawah krisis dan kemiskinan yang terus melilit hidupnya. Kejahatan kerah putih berjalan sendiri dan menetapkan kebijakan sejauh dapat memberikan peluang kepadanya untuk terus melestarikan eksistensinya.Â
Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan, karena hukum harus dapat menjamin hak-hak demokratis seluas-luasnya.
 Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui apakah unsur-unsur suatu kejahatan yang dikategorikan sebagai "white collar crime" ? dan bagaimanakah reaksi masyarakat dan hukum dalam memberikan sanksi terhadap pelaku white collar crime ? Â
Apa itu Korupsi dan White-Collar Crime?
"White collar crime"
Kajian white collar crime sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di Philadelphia tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya (Munir Fuady. 2008) Dictionary of Criminal Justice Data Terminology mendefinisikan white collar crime sebagai nonviolent crime dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha, profesional atau semi profesional dan menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya.Â
Atau perbuatan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan financial menggunakan tipu muslihat dan dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan khusus dan pengetahuan profesional atas perusahaan dan pemerintahan, terlepas dari pekerjaannya.Â
Beberapa karakteristik white collar crime yang membedakannya dengan kejahatan lain, yaitu: Pelaku sulit diidentifikasi. Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak akan sadar.Â
1. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu.Â
2. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasanÂ
3. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan.
4. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak. 5. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. 6. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. 7. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.Â
Unsur-unsur White collar crimeÂ
Suatu tindak pidana dikatakan sebagai white collar crime, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :Â
1. Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukumÂ
2. Merugikan Masyarakat dan atau NegaraÂ
3. Dilarang oleh aturan hukum pidanaÂ
4. Perbuatannya diancam dengan pidanaÂ
5. Dilakukan oleh orang-orang tertentuÂ
Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum artinya perbuatan yang dilakukan adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Akibat dari perbuatan yang dilakukan tidak hanya merugikan perorangan atau sekelompok kecil saja, tetapi dapat merugikan masyarakat luas.Â
Baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat merugikan keuangan negara, perbuatan itu dilarang oleh hukum pidana, serta atas perbuatan tersebut diancam dengan hukum pidana dan pelakunya adalah termasuk ke dalam golongan intelektual.Â
Perbedaan utama antara white collar crime dan tindak pidana biasa antara lain terletak pada pelakunya dan penggunaan harta hasil kejahatan yang dilakukan serta cara kerjanya.Â
Pelakunya pada kejahatan yang tegolong white collar crime adalah dilakukan oleh orang yang tergolong intelektual dan terkait dengan pengaruh kekuasaan, jabatan serta keuangan dan dengan pengaruh tersebut mereka lantas beranggapan bahwa "mereka kebal terhadap hukum, dan cemooh masyarakat.Â
Pada tindak pidana biasa "pelakunya tidak tergolong kelompok intelektual mereka termasuk orang kebanyakan yang tidak memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan maupun dalam badan usaha.Â
Penggunaan hasil kejahatan yang termasuk white collar crime biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder seperti, mobil mewah, rumah mewah membeli barang-barang lux, investasi tanah, disimpan diBank dalam negeri maupun luar negeri, dll. Sedang pada kejahatan biasa hasil yang diperoleh biasanya hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum, serta kebutuhan biologis lainnya.
Bentuk-Bentuk white collar crime
Ada berbagai bentuk white collar crime berdasarkan pengertian mengenai white collar crime, diatas yaitu suatu hasil kejahatan atau tindakan illegal yang dilakukan oleh individu-individu yang intelek sehubungan dengan jabatan / kedudukan atau suatu badan hukum yang mempunyai kekuatan keuangan yang sangat kuat.
Bentuk Kejahatan white collar crime akan dipaparkan dalam 3 (tiga) bentuk :Â
a. Pemalsuan SuratÂ
Kejahatan pemalsuan surat diatur dalam KUHP melalui pasal 263 s/d pasal 276, pasal 263 (1) KUHP menyebutkan bahwa barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hal.Â
Sesuatu perikatan atau sesuatu pembebasan hutang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolaholah surat itu asli, dan tidak palsu diancam jika pemalsuan tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan.Â
Misalnya : ada seorang pejabat di salah satu Bank yang ingin membobol milik seorang nasabah yang disimpan diBank, dimana pejabat tersebut bekerja.
 Untuk memudahkan usahanya pejabat tersebut memerintah kepada orang lain agar membuka rekening di salah satu Bank kemudian menentukan bilyet giro nasabah pemilik uang serta mengisi nomor bilyet giro nasabah pemilik uang melalui bilyet giro palsu, kemudian uang milik nasabah yang dikliringkan di bank dimana orang diajak bekerjasama membuka rekening.Â
b. KorupsiÂ
Kejahatan korupsi diatur dalam UU No. 3 / 1971 jo UU No. 20 / 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, adapun yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 UU tersebut, salah satu contoh misalnya yang disebutkan dalam pasal 1 (1) sub b yang selengkapnya berbunyi "barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana-sarana yang ada padanya karena jabatan / kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara, dan / atau perekonomian negara."Â
Atasn pasal pelanggaran pasal 1 (1) sub b, bertujuan pelakunya dapat diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 30 juta rupiah, selain itu dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang berupa perampasan barang yang merupakan hasil kejahatan korupsi serta membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi (pasal 28 jo pasal 34 sub a, b, c UU No. 3 / 1971)Â
Misalnya : ada seorang pejabat yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek pembangunan gedung di lingkungan kantornya, dalam menjalankan pekerjaannya pejabat tersebut tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya.Â
Atas jabatan / kedudukan yang dipercayakan kepadanya, pejabat tersebut memerintahkan merubah / mengganti barang yang digunakan dengan barang lain yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan dalam rencana pembangunan, sehingga hasilnya jelek, disamping itu pejabat tersebut membuat kuitansi fiktif serta membebankan kepada anggaran kantor untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.Â
c. PenyuapanÂ
Penyuapan diatur dalam UU No. 11 / 1980 tentang Tindak Pidana Suap, pada pasal (2) disebutkan "barang siapa member atau menjanjikan sesuatu dengan seseorang dengan membujuk supaya orang lain itu berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangannya atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).Â
Pasal 3 disebutkan "barang siapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu / janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat seuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangannya atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum dipidanakan karena menerima suap dengan hukuman penjara selamalamanya 3 (tiga) tahun atau denda Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah).Â
Misalnya : Pada suatu pertandingan sepakbola antara kesebelasan Indonesia dengan kesebelasan negara lain, dalam pertandingan ternyata terjadi keganjilan, oleh sebab itu pengurus atau pemainnya diduga keras telah terjadi perbuatan curang, dalam hal ini apabila dugaan tersebut benar, maka pengurus maupun pemain dapat dikenakan Tindak Pidana Suap.Â
Mengapa Korupsi Terjadi di Indonesia?
Korupsi terjadi karena berbagai faktor, yang dapat dijelaskan melalui teori Differential Association Sutherland:
a. Lingkungan Sosial yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Sutherland, perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial. Di Indonesia, individu sering kali berada di lingkungan yang permisif terhadap korupsi, seperti:
- Birokrasi yang tidak transparan.
- Hubungan patron-klien. Jaringan kekuasaan yang saling melindungi menciptakan "zona aman" untuk perilaku korup.
- Nilai budaya yang toleran. Korupsi dianggap hal wajar, misalnya sebagai "pelicin" dalam proses administrasi.
b. Justifikasi Moral Pelaku
Pelaku korupsi sering kali membenarkan tindakan mereka, seperti menganggapnya sebagai "kompensasi atas gaji rendah" atau bagian dari mekanisme politik. Proses ini memungkinkan korupsi tetap berlangsung tanpa rasa bersalah.
c. Kelemahan Penegakan Hukum
Sistem hukum di Indonesia sering dianggap lemah, baik dalam hal deteksi maupun pemberian hukuman yang adil. Intervensi politik juga sering kali menghambat penindakan.
Edwin Sutherland, dalam teori Differential Association, menjelaskan bahwa kejahatan, termasuk korupsi, bukan hanya terjadi karena faktor individu, melainkan juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dan pembelajaran yang terjadi dalam kelompok tertentu. Dalam konteks korupsi di Indonesia, teori ini dapat diterapkan untuk menjelaskan mengapa fenomena korupsi terjadi secara sistemik dan berulang dalam struktur pemerintahan dan sektor-sektor tertentu.
Pembelajaran Korupsi melalui Lingkungan Sosial
Sutherland berargumen bahwa individu belajar perilaku kriminal melalui interaksi dengan orang lain yang memiliki nilai dan norma yang menyimpang. Di Indonesia, banyak pejabat dan pengusaha yang terlibat dalam praktik korupsi beroperasi dalam lingkungan yang sudah terbiasa dengan cara-cara tersebut. Mereka belajar dari rekan sejawat atau mentor mereka, yang mungkin sudah lama terlibat dalam budaya korupsi. Dalam hal ini, differential association mengacu pada bagaimana individu dalam posisi kekuasaan sering kali mendapatkan nilai-nilai dan pembenaran untuk melakukan korupsi dari mereka yang sudah lebih dulu berpengalaman dalam penyalahgunaan kekuasaan.Rasionalisasi Perilaku Koruptif
Teori Sutherland juga mencakup aspek rationalization, atau pembenaran terhadap tindakan menyimpang. Dalam konteks korupsi di Indonesia, pelaku sering kali membenarkan tindakannya dengan alasan-alasan yang diterima dalam budaya mereka, seperti "semua orang juga melakukannya," "ini adalah biaya politik yang wajar," atau "untuk kepentingan rakyat." Pembenaran semacam ini sangat efektif dalam memitigasi rasa bersalah dan mendorong individu untuk melanjutkan perilaku tersebut.Kekuatan Norma Sosial yang Mendukung Korupsi
Dalam masyarakat yang memiliki toleransi tinggi terhadap korupsi, norma sosial yang berlaku mendukung penyimpangan tersebut. Menurut teori Sutherland, perilaku korupsi ini dipelajari dan diterima dalam kelompok sosial tertentu, yang menganggap bahwa korupsi adalah cara yang sah untuk memperoleh kekuasaan, uang, atau keuntungan lainnya. Dalam banyak kasus, jika individu tidak terlibat dalam korupsi, mereka akan dianggap "lemah" atau tidak kompeten dalam mencapai tujuan mereka.Normalisasi Korupsi dalam Sistem Sosial dan Politik
Sutherland menjelaskan bahwa kejahatan bisa menjadi bagian dari norma sosial yang ada dalam kelompok tertentu. Di Indonesia, meskipun korupsi adalah ilegal, dalam beberapa kasus, tindakan tersebut telah menjadi bagian dari budaya politik yang diterima. Hal ini menjelaskan mengapa, meskipun upaya pemberantasan korupsi dilakukan, pola perilaku tersebut sulit untuk dihentikan dalam jangka panjang, karena sudah terinternalisasi dalam struktur sosial dan politik.
Bagaimana Korupsi Dapat Ditangani?
Untuk menanggulangi korupsi secara efektif di Indonesia, pendekatannya harus menyeluruh, mencakup beberapa langkah penting yang harus dilakukan bersamaan:
1. Reformasi Sistem dan Prosedur:
Digitalisasi dan Transparansi Administrasi Publik
Proses administrasi, termasuk pengadaan barang/jasa dan alokasi anggaran, harus dilakukan secara digital. Sistem ini dapat mengurangi interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat, yang sering kali menjadi sumber praktik korupsi. Contoh yang efektif adalah penerapan e-Government yang mempermudah akses informasi dan pengawasan publik. Transparansi dalam pengeluaran anggaran dapat diawasi oleh masyarakat dan media.Peningkatan Sistem Pengawasan
Pengawasan terhadap proyek-proyek pemerintah perlu diperkuat. Dalam hal ini, audit independen dan publikasi hasil audit harus dilakukan secara berkala untuk memeriksa aliran dana yang digunakan dalam proyek pemerintah, serta mengidentifikasi potensi penyimpangan.
2. Pendidikan dan Kesadaran Antikorupsi:
Edukasi Antikorupsi di Sekolah dan Perguruan Tinggi
Pendidikan tentang integritas dan dampak negatif dari korupsi harus dimulai sejak dini di sekolah. Melalui kurikulum yang menekankan pentingnya etika, kejujuran, dan kepemimpinan yang bersih, diharapkan generasi mendatang memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk menanggulangi korupsi. Perguruan tinggi juga harus menawarkan kursus yang membahas secara mendalam tentang integritas dalam pemerintahan dan sektor swasta.Kampanye Kesadaran Masyarakat
Kampanye publik yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi. Melalui media sosial, iklan, dan seminar, masyarakat diajak untuk berperan aktif dalam mengawasi dan mencegah praktik korupsi di sekitar mereka.
3. Penguatan Penegakan Hukum:
Hukuman yang Tegas dan Efektif
Hukum harus ditegakkan dengan tegas tanpa pandang bulu. Koruptor harus dihukum dengan berat, baik dengan penjara yang panjang maupun dengan penyitaan aset hasil tindak pidana. Hukuman yang berat akan memberikan efek jera, sehingga menurunkan potensi terjadinya korupsi. Proses hukum juga harus transparan dan dilakukan tanpa intervensi dari pihak manapun.Perlindungan terhadap Lembaga Pemberantasan Korupsi (KPK)
Memastikan lembaga seperti KPK dapat bekerja secara independen dan bebas dari pengaruh politik adalah kunci dalam pemberantasan korupsi. KPK harus memiliki wewenang penuh untuk menyelidiki dan menangkap pelaku korupsi tanpa adanya halangan dari pihak manapun, baik itu pejabat pemerintah atau pihak lain yang memiliki kekuasaan.
4. Memutus Jaringan Korupsi:
Reformasi Birokrasi dan Sistem Pengadaan
Salah satu penyebab utama korupsi adalah birokrasi yang panjang dan rumit. Reformasi birokrasi yang mempermudah proses administrasi dan mempercepat layanan publik akan mengurangi peluang bagi pejabat untuk melakukan korupsi. Pemangkasan jalur birokrasi yang tidak perlu serta memperkenalkan sistem pengadaan barang/jasa yang lebih efisien dapat menurunkan peluang penyalahgunaan wewenang.Menghapus Sistem Patron-Klien
Sistem patron-klien di Indonesia seringkali menciptakan ikatan antara politisi dan pengusaha yang menyebabkan praktik korupsi. Oleh karena itu, reformasi politik dan penguatan sistem demokrasi yang transparan sangat diperlukan untuk memutus hubungan patron-klien. Penegakan hukum yang efektif juga dapat menghentikan aliran dana yang terlibat dalam kolusi antara pihak berkuasa dan pihak swasta.
5. Peningkatan Partisipasi Masyarakat:
Partisipasi Aktif dalam Pengawasan
Masyarakat harus diberikan peran lebih besar dalam pengawasan kebijakan publik dan penggunaan anggaran. Melalui organisasi masyarakat sipil (OMS) dan media, masyarakat dapat terlibat langsung dalam mengawasi jalannya proyek pemerintah. Aplikasi pengaduan online, seperti Lapor! atau aplikasi serupa, memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang dengan mudah dan aman.Perlindungan bagi Pelapor Korupsi (Whistleblower Protection)
Untuk mendorong masyarakat melaporkan tindakan korupsi, perlu ada sistem perlindungan bagi whistleblower. Perlindungan ini dapat berupa anonimitas, jaminan keamanan, dan insentif bagi mereka yang melaporkan praktik-praktik korupsi yang ditemukan. Hal ini akan membuka lebih banyak peluang untuk mengungkap kasus korupsi yang mungkin tersembunyi.
Teori Sutherland menawarkan solusi dengan fokus pada perubahan lingkungan sosial dan sistem:
a. Pendidikan Antikorupsi
- Pendidikan nilai-nilai integritas sejak dini, baik di sekolah maupun masyarakat.
- Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran bahwa korupsi merugikan semua pihak.
b. Reformasi Birokrasi
- Menerapkan sistem digital dalam administrasi pemerintahan untuk mengurangi interaksi manusia yang memungkinkan korupsi.
- Meningkatkan transparansi anggaran dan pengawasan independen.
c. Penegakan Hukum yang Kuat
- Memberikan hukuman tegas yang bersifat efek jera.
- Melindungi lembaga pemberantasan korupsi, seperti KPK, dari intervensi politik.
d. Memutus Jaringan Korupsi
- Mengidentifikasi dan membongkar hubungan patron-klien dalam sistem kekuasaan.
- Memberdayakan masyarakat untuk melaporkan tindakan korupsi tanpa takut retaliasi.
Penanganan korupsi di Indonesia memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga hukum, serta sektor swasta. Dengan penguatan sistem hukum, reformasi birokrasi, edukasi antikorupsi, dan peningkatan transparansi, praktik korupsi dapat diminimalkan. Selain itu, perlunya perubahan budaya politik dan penerapan teknologi sebagai alat pengawasan akan sangat membantu dalam menciptakan lingkungan bebas korupsi.
Studi Kasus Proyek Hambalang
Proyek pembangunan pusat olahraga Hambalang di Bogor, Jawa Barat, dimulai pada 2010 dengan anggaran sekitar Rp 2,5 triliun. Namun, proyek ini menjadi simbol kegagalan akibat korupsi besar-besaran yang melibatkan pejabat tinggi, pengusaha, dan politikus. Korupsi terjadi dalam bentuk penggelembungan biaya, manipulasi tender, dan suap kepada pejabat pemerintah.
Relevansi dengan Teori Edwin Sutherland
Differential Association
- Pembelajaran Sosial: Para pelaku bekerja dalam sistem yang permisif terhadap penyimpangan, di mana manipulasi anggaran dianggap wajar untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
- Rasionalisasi Perilaku: Pelaku menggunakan pembenaran, seperti "proyek ini untuk kepentingan negara" atau "bagian dari kebutuhan politik," untuk mereduksi rasa bersalah.
White-Collar Crime
- Kejahatan dilakukan oleh orang-orang dengan status tinggi, seperti pejabat kementerian dan pengusaha konstruksi, menggunakan posisi mereka untuk mengontrol proyek besar ini.
- Dampaknya meluas, termasuk pemborosan uang negara dan proyek yang terbengkalai hingga saat ini.
Faktor Penyebab
- Ketiadaan Transparansi: Proyek Hambalang dikelola dengan sistem tender yang tidak jelas dan rawan manipulasi.
- Hubungan Politik dan Bisnis: Kolusi antara pihak swasta dan pemerintah memperbesar peluang penyimpangan.
- Minimnya Pengawasan Proyek: Pengawasan lemah memberikan ruang bagi para pelaku untuk menutupi tindakan mereka.
Penanganan dan Dampak
Kasus ini diusut oleh KPK, dan beberapa tokoh, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Andi Mallarangeng, dijatuhi hukuman penjara. Meski begitu, kerugian negara sebesar Rp 706 miliar sulit dipulihkan, dan proyek ini tetap mangkrak.
Faktor-Faktor Yang Berkaitan Dengan White collar crimeÂ
Salah satu kejahatan yang tergolong ke dalam white collar crime adalah tindak pidana korupsi, menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa yang ditulis dalam Harian Pos Kota Pada tanggal 8-9-1987 halaman 2 disebutkan "bahwa sebagai faktor penyebab dimungkinkannya tindak pidana korupsi di Indonesia ada 11 (sebelas) faktor penyebabnya", yaitu :Â
1. Kerusakan MoralÂ
2. Kelemahan SistemÂ
3. Kerawan Kondisi Sosial EkonomiÂ
4. Tindakan Hukum Yang Belum TegasÂ
5. Seringnya Para Pejabat Meminta Sumbangan Kepada Para PengusahaÂ
6. Pungutan LiarÂ
7. Kekurangan Pengertian Tentang Tindak Pidana KorupsiÂ
8. Penyelenggaraan Pemerintahan Dan Pembangunan Yang Serba TertutupÂ
9. Masih Perlunya Mekanisme Kontrol DPRÂ
10. Masih Lemahnya Perundang-Undangan Yang AdaÂ
11. Gabungan Dari Berbagai Faktor Yang Juga Menyebabkan Terjadinya Perbuatan KorupsiÂ
Berdasarkan dari berbagai faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi, dewasa ini karena ada faktor kerusakan moral dan factor kerawanan kondisi social ekonomi, sehingga dapat menyebabkan sebagian dari golongan intelektual melakukan kejahatan dengan memanfaatkan peluang-peluang dan kesempatan yang ada sehubungan dengan kedudukan dan kewenangannya.Â
Misalnya, dengan kekuasaan dan kewenangan yang ada, serta kerusakan moral pelaku maka golongan intelektual itu melakukan penyelewengan atau penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, melakukan manipulasi dalam pengeluaran anggaran atas dana yang ada atau dengan membuat bukti fiktif.
Penegakan Hukum Terhadap White collar crime
Penegakan hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana bertujuan untuk menanggulangi setiap kejahatan, hal ini dimaksudkan agar setiap tindakan-tindakan yang melanggar aturan hukum dan peraturan perundang-undangan serta membuat kehidupan menjadi terganggu dapat untuk ditangulangi, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman, tenteram dan terkendali serta masih dalam batas-batas toleransi masyarakat.Â
Setiap komponen dalam setiap sistem peradilan pidana masyarakat dituntut untuk selalu bekerjasama, hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa : keempat komponen sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu "integrated criminal justice system".
 Kejahatan yang dilakukan oleh narapidana kejahatan kerah putih secara umum dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan, namun diiringi dengan kecurangan, penyesatan dan menyembunyikan kejahatan akal-akalan ataupun lewat berbagai upaya untuk mengelak dari peraturan.Â
Dalam rangka mewujudkan sanksi dan penghukuman yang efektif bagi para pelaku tindak kejahatan white collar crime, maka harus diperhatikan beberapa syarat / hal sebagai berikut :Â
a. Adanya suatu perubahan dan reformasi yang spesifikÂ
b. Tindakan manajerial yang nyata dan kasat mataÂ
c. Penegakan Hukuman Â
d. Bentuk penghukuman yang keras dan terpublikasikan kepada masyarakat luas bagi setiap terdakwa pelaku tindak kejahatan white collar crime. (Dewantara Nanda Agung. 2005)Â
Daftar Pustaka:
Sutherland, E. H. (1949). Principles of Criminology.
Dewantara Nanda Agung, Kemampuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi KejahatanKejahatan Baru Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 2005Â
Ramelan, White collar crime Dan AspekAspek Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2007Â
Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Grafika, Jakarta, 1999Â
ejurnal.esaunggul.ac.id
Tirto.id. "Teori Sosial dan Relevansi Penyimpangan".Â
Transparency International. "Indeks Persepsi Korupsi 2023".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H