Dalam sebuah pertarungan, pertandingan, kontes, apapun itu, pasti ada yang menang ada yang kalah. Dalam dunia binatang, siapa yang kuat akan menjadi pemenang. Kalau dalam sepak bola, untuk mengalahkan lawan, tergantung dari strategi dan kwalitas pemain, bermain curang untuk mematikan lawan, akan bahaya karena ada wasit, terkecuali wasitnya ikut curang juga.
Demikian halnya dalam pertarungan politik, perebutan kekuasaan untuk menjadi orang nomor satu dengan memakai institusi ‘’musyawarah’’ atau apapun namanya, ada juga yang kalah ada juga yang menang. Munaslub Golkar misalnya, telah menetapkan Setyo Novanto atau biasa dipanggil SetNov sebagai ketua terpilih Golkar untuk periode 2016-2019.
[caption caption="Suasana Munaslub Golkar "]Kemenangan Setnov ini cukup mengejutkan lantaran banyak pengamat yang memprediksi ia akan sulit memenangkan pertarungan pasca lengsernya dari jabatan Ketua DPR-RI karena kasus ‘’papa minta saham’’ dan digantikan oleh Ade Komarudin yang kemudian menjadi competitor dalam Munaslub Golkar. Namun yang namanya politik, tidak selamanya dua kali dua itu hasilnya disebut empat, bisa jadi jika yang mengalikan itu tidak bisa mengucapkan huruf ‘’p’’ , maka hasil yang akan dicapai dari perkalian itu akan disebutnya satu tambah tiga. Ya inilah politik, ada faktor pendorong dan ada faktor penarik. Faktor pendorong adalah hati nurani, sedangkan factor penarik bisa jadi iming iming tertentu.
Berbagai analisa atas kemenangan SetNov dalam Munaslub Golkar di Bali beberapa waktu, bertebaran dikanal kanal politik, Dinda Kirana misalnya, dalam tulisannya di Kompasiana dengan judul ‘’Dalam Munaslub Golkar, Akom Menjunjung Tinggi Rekonsiliasi Partai’’, telah dengan gamblang menggambarkan tentang adanya konspirasi atau bahasa Dinda menyebutnya persekongkolan tiga kekuatan antara DPP ARB, Panitia Pengarah atau Pimpinan Sidang dan pemerintah.
Dalam salah satu paragrap Dinda menulis ‘’ Keadaan ini mengisaratkan adanya sebuah kerjasama politik yang cukup jelas, hasil kerjasama itulah lantas kekuasanaan dibagi-bagi untuk kelompok mereka sendiri. Kerjasana disini dapat ditafsirkan sebagai persekongkolan politik antara DPP Partai Golkar (ARB), Panitia Pengarah dan Pimpinan Sidang Munaslub (Nurdin Halid), dan juga pemerintah (Luhut Panjaitan). Ketiga kekuatan tersebut secara sadar bekerja secara politik dan konspiratif, mendesain segala cara untuk dapat memenangkannya Novanto, sehingga hasilnya adalah bagi-bagi posisi’’.Lihat di sini.
Saya harus angkat jempol untuk Dinda, sebab analisanya ‘’pas’’ dihati saya yang kebetulan saya mendapat mandat ikut sebagai pesrta Munaslub. Adapun pesan dari pemberi mandate yakni Ketua DPD II Golkar Cilegon adalah saya harus memilih dan berjuang dengan ‘’hati nurani’’. Saya tidak bicara soal kepada siapa saya mendukung, tapi dalam tulisan ini, saya ingin melengkapi tulisan Dinda tentang ‘’persekongkolan’’ tiga kekuatan sebagaimana disebutkan Dinda, dan ini sebagai bentuk ‘’pembenaran’’ atas apa yang ditulis Dinda itu.
Pertama tentang DPP ARB.Dalam suasana yang katanya Demokratis, kepentingan ini sangat kentara di setiap sidang paripurna bagimana Panitia Pengarah yang dibentuk DPP mengarahkan peserta agar sosok ARB tetap menjadi tali perekat Golkar. Maka dari itu, sebelum Pemilihan Ketua berlangsung, Pimpinan Sidang menawarkan kepada peserta bagaimana kalau ARB dijadikan ‘’Dewan Pembina’’ DPP Partai Golkar, dan pesertapun ‘’koor’’ setuju.
Kedua; Panitia Pengarah atau Pimpinan Sidang. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam setiap perdebatan membahas materi tertentu yang drafnya made ini Komite, pimpinan Sidang, cenderung mempertahankan konsep yang sudah ada. Dialog antara peserta dengan pimpinan sidangpun menjadi panas lantaran seolah peserta tidak punya ruang untuk merubah konsep jika dianggap berseberangan dengan misi yang diembannya untuk memuluskan laju kendaraan yang bakal ditumpanginya.
Saya sebagai peserta sempat tertawa geli juga saat terjadi perdebatan sengit antara Akbar Tanjung dengan Rambe K. sebagai pimpinan sidang Komisi A yang membahas tentang perubahan AD/ART. Dalam draf terdapat perubahan Struktur Organisasi dari ‘’Dewan Pertimbangan’’ menjadi ‘’Dewan Pembina’’. Akbar dan beberapa peserta tidak sependapat dengan perubahan ini, bukannya antara peserta yang berdebat, tapi malah antara Akbar Tanjung dengan Pimpinan Sidang yang ngotot mempertahankan argumentasi. Situasi menjadi panas walaupun ahirnya dengan tawaran pimpinan apakah perubahan dapat disetujui, tanpa komando peserta koor lagi, setujuuuuu, plok palu sidang diketuk.
Ketiga, Dukungan Pemerintah,Terkait dengan hal ini, saya tidak bisa melihat secara langsung, tetapi dengan membaca Gatra Edisi 12 Mei 2016, kiranya cukup gamblang beritanya, bagimana Luhut Binsar Panjaitan, Mentri Polhukam mengumpulkan beberapa Ketua DPD I Golkar Propinsi dikediamannya.
Diantara yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Sekjen DPP Golkar Idrus Marham, Robert Kardinal, Ridwan Bae DPD I [Sultra], Ahmad Hidayat Mus [Malut], Ety Sabarua [Maluku], Ansar Ahmad [Kepri], Ibrahim Medah [NTT] dan Klemen Tinal [Papua]. Dalam pertemuan itu, Gatra melaporkan bahwa berdasarkan sumber yang diperoleh, memang benar saat itu ada arahan untuk mendukung Setnov. Beberapa hari kemudian, diadakan pertemuan lanjutan, rencananya di hotel Ritz Carleton Kuningan yang rencananya akan dihadiri Ruhut Panjaitan, dengan menghadirkan Ketua ketua DPD I dan DPD II Kabupaten/Kota namun gagal lantaran SMS undangannya bocor, diantara yang sudah hadir disitu adalah Ketua DPD Golkar Banten Ratu Tatu Chasanah dan Ridwan Bae Ketua DPD I Sultra.