Sejak di panggilnya beberapa pegawai dari Kementrian Hukum dan HAM termasuk mantan Mentrinya yakni Amir Samsudin oleh Bareskrim Polri atas adanya indikasi adanya potensi kerugian Negara pada poyek payment gateway atau alat yang digunakan untuk membantu penerbitan paspor di Direktorat Imigrasi Kemenkum HAM, telah menimbulkan berbagai sorotan dari masyarakat. Apalagi kasus itu menyeret salah satu pegiat anti korupsi yakni Profesor Deny Indrayana mantan Wamen Hukum dan HAM
Deny yang dulu terkenal sebagia pegiat anti korupsi dari kalangan akademisi, memang sosok yangngetop dalam gerakan anti korupsi. Melalui Pukat UGM dan LSM yang ia bentuk serta tulisan tulisannya yang betebaran di media masa, Jiwa korsa Deny amat kuat. Ia bahkan pernah mencibir Antasari Azhar yang saat itu menjadi ketua KPK dalam memberantas korupsi. Deny mempertanyakan mampukah Antasari memberantas korupsi di Istana.
Dalam salah satu tulisan yang ada dalam bukunya “Negeri para Mafioso”, Deny menyatakan begini ““Korupsi jelas haram,korupsi jelas kejahatan luar biasa. Lalu bagaimana dengan pejabatNegara yang seharusnya memberantas korupsi tetapi malah melakukan korupsi… …, seharusnyalah tindakan demikian diklasifikasikan sebagai kejahatan Maha luar biasa, kejahatan Maha haran, itylah kejahatan :Maha haram Korupsi, Hukumannya-pun harus Maha Berat, Maha Menjerakan”
Entah karena kosistensinya Deny terhadap soal ini, SBY ahirnya mengangkat Deny sebagai staf husus Presiden, berlanjut menjadi Wamen Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Sejak berada di lingkaran Istana, Deny tak lagi keras bicara soal korupsi di lingkungan Istana. Tapi sepak terjangnya diluar itu, bisa juga mengagetkan masyarakat, salah satu contohnya adalah ketika iamenampar salah seorang sipir penjara.
Dalam perjalanannya, Deny meluncurkan kebijakan payment gateway untuk mempermudah orang mendapatkan paspor. Tapi kebijakan ini kemudian dihentikan karena dinyatakan bertentangan dengan peraturan yang ada. Ujungnya Deny dilaporkan ke Bareskrim karena proyek itu diindikasikan merugikan keuangan Negara. Setelah Deny dipanggil bareskrim sebagai saksi dan telapor, kegaduhanpun muncul, soal kriminalisasi atau pelemahan KPK dan para pendukungnya.
Mengapa sampai demikian gaduhnya soal Deny ini, tak lain karena “Deny itu tidak korupsi”, demikian kira kira “keyakinan” dari Deny maupun Deny lovers. Denny bilang tidak terjadi korupsi dalam proyek sistem pembayaran online (payment gateway) pembuatan passpor dan membantah terjadi kerugian negara hingga miliaran rupiah pada proyek tersebut “Sebeneranya laporannya hasil BPK pada 30 desember lalu adalah menyatakan uang yang disetor ke negara Rp32,4 miliar. Negara menerima Rp32,4 miliar, bukan kerugian negara (sejumlah itu),” kata Deny sebagaimana di kutip beberapa media.
Demikian hal dengan Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pukat UGM bilang bahwa kasus Payment Getway yang menjerat Denny Indrayana bukanlah kasus korupsi. Zainal mengaku punya landasan mengatakan kasus tersebut bukan korupsi. Apa itu?, ,” pungutan sebesar Rp 5.000 untuk biaya pelayanan PNBP yang digagas Denny Indrayana bermula dari masalah panjangnya antrean loket pembayaran PNBP”, demikian Zainal meyakini.
Sampai disini, kita sepakat bahwa Deny memang tidak merugikan negara menurut kacamata “pribadi” dan teman temannya. Tatapi apa kata Kabareskrim Budi Waseso, ” ….Pokonya sudah pasti ada korupsi ada kerugian negara. Soal keterlibatan Denny diketahui usai pemeriksan, pastinya akan kita buktikan nanti,”. Ni A….ah!.
Kalau sudah demikian, apa mau dikata, mungkin Deny lupa bahwa dalam tipikor, sesorang dianggap merugikan negara bukan hanya orang itu "meraup uang negara secara tidak sah", memperkaya orang lain secara tidak sah atau karena melakukan kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan juga bisa dianggap merugikan negara,
Deny mungkin juga lupa bahwa untuk menentukan ada tidaknya kerugian Negara dalam suatu kasus, yang menentukan itu bukan dari orang yang terindikasi, tetapi pihak pengadilan setelah melalui prosedur yang berlaku dalam sisitem peradilan kita, terindikasi dulu, tersangka dulu, di tahan dahulu, terdakwa dulu, di sidang dulu baru kemudian di putus oleh hakim tentang terbukti atau tidaknya dakwaan.
Dalam kasus Indrayana, jika kemudian terbukti, maka kemungkinan hakim dalam mempertimbangkan hukuman, akan membaca tulisan indrayana sendiri seperti sudah saya kutip diatas yakni “““Korupsi jelas haram,korupsi jelas kejahatan luar biasa. Lalu bagaimana dengan pejabatNegara yang seharusnya memberantas korupsi tetapi malah melakukan korupsi… …, seharusnyalah tindakan demikian diklasifikasikan sebagai kejahatan Maha luar biasa, kejahatan Maha haran, itylah kejahatan :Maha haram Korupsi, Hukumannya-pun harus Maha Berat, Maha Menjerakan” .
Jadi apa hukumannya?, Maha Berat dan Maha Menjerakan………!.
Salam, ayo dukung pemberantasan korupsi, dan jangan lupa bahagia..!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI