Mohon tunggu...
KANG NASIR
KANG NASIR Mohon Tunggu... Administrasi - petualang

Orang kampung, tinggal di kampung, ingin seperti orang kota, Yakin bisa...!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[100 Puisi] Angkot Pak Sarmin

16 Februari 2016   21:13 Diperbarui: 17 Februari 2016   09:03 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jam 4 pagi atau sebelum sembahyang subuh, saat anak anaknya masih terlelap diatas ranjang yang sudah reot, Pak Sarmin mengeluarkan mobil BMW-nya dari garasi yang tak ber-atap. Sayangnya BMW milik Pak Sarmin bukanlah mobil produk Jerman yang kinyis kinyis yang biasa diapakai selebritas, mana mungkin orang kecil seperti Pak Sarmin mampu beli mobil yang terkenal wah itu. BMW yang dimaksud tak lain dari kepanjangan Bukan Mobil MeWah.

BMW  milik Pak Sarmin hanya berwujud  Angkot yang sudah mulai ringkih, catnya-pun sudah tak karuan warnanya, kusam tak bersinar dimakan ganasnya sang surya, bahkan ruangan angkot kelihatan mulai keropos.

Tiap pagi buta, simbok simbok  yang sudah lama menunggu angkot Pak Sarmin di pertigaan antara jalan kampung dan jalan raya,  memasukkan bakul  bakul yang berisikan hasil tani kedalam mobil angkot Pak Sarmin yang sudah dijadikan  langganan mbok mbok penjual sayur. Ada terong, kacang, daun singkong, daun papaya, timun dan jenis sayuran lainnya  untuk dibawa ke Pasar Cilegon. Dua ribu, empat ribu, delapan ribu, sepuluh ribu, ya hanya puluhan ribu ia peroleh dari ongkos  mbok mbok itu. Demi apa ?, demi anak.

Selesai menghantar mbok mbok di pasar, Pak  Sarmin memarkirkan angkotnya di depan Musolla, sembahyang subuh dan menunggu terbit matahari di warung kopi milik bi Iroh.

Ketika matahari sudah mulai nampak, angkot tua itu dibawa Pak Sarmin ke Gudang Es batu milik engkoh Lim, tidak jauh dari pasar Cilegon. Kini angkot Pak Sarmin berubah fungsi, tidak lagi memuat mbok mbok, tapi tumpukan batangan es batu.

Pak Sarmin kali ini tak mengharapkan ongkos, gelondongan es batu yang ia bawa, akan dipotong potong untuk dijual dan disetorkan di warung warung kecil, Rumah Makan Padang sepanjang jalan antara Gerem dan Pelabuhan Merak. Semua Pak Sarmin lakoni, demi apa?, demi anak.

Selesai mengantar es batu, Pak Sarmin masih ber-ihtiar, diambilnya  bebarapa jerigen di rumahnya, dijajarkan dengan rapih didalam angkot, setelah itu dibawa ke pangkalan air bersih milik pak Irsyad, lantas diisi dengan air bersih untuk kemudian di jual kelililng ke warung, kios kios yang membutuhkan air bersih, demi apa?, demi anak.

Begitu rutinitas yang dilakoni Pak Sarmin bertahun tahun dengan angkot kesayangannya. Sejarah kemudian mencatat, dari angkot butut, ternyata telah melahirkan seorang dokter,  dokter yang dibiayai dari ongkos mbok mbok, jualan es batu dan air bersih, anak Pak Sarmin kini sudah menjadi seorang dokter yang menjadi kebanggaan keluarga.

Sementara Pak Sarmin hingga sekarang terus melakoni aktifitasnya mengantar mbok mbok ke Pasar, berjualan es batu dan air bersih bukan lagi demi anak , tapi sebagai bentuk rasa syukur atas semua nikmat yang di berikan Tuhan bahwa dari Angkot, lahirlah seorang dokter.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun