Mohon tunggu...
Moch. Marsa Taufiqurrohman
Moch. Marsa Taufiqurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum (yang nggak nulis tentang hukum)

Seorang anak yang lahir sebagai kado terindah untuk ulangtahun ke-23 Ibundanya.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menghadapi Realitas "Moral Panik", Sebenarnya Kita Hanya Butuh Sedikit Siasat Ciamik

29 April 2020   09:16 Diperbarui: 29 April 2020   09:33 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mungkin kita telah terbentuk dengan hidup yang serba tergesa-gesa. Gembar-gembor bisa santuy, padahal aslinya gagap dan tak siap. Alhasil, saat pandemi Covid-19 datang, kita hanya bisa dapat sebuah pelajaran bahwa kita itu rapuh."

Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya "Black Swan" jauh-jauh hari telah memperingatkan, bahwa akan ada angsa-angsa hitam bermunculan yang akan menguji kesiapan kita di tengah ketidakpastian. Angsa hitam ini berupa berbagai macam rupa, termasuk bentuknya yang paling meresahkan kita semua adalah wabah Covid-19 ini.

Terbukti, angsa-angsa hitam mulai marusak pekarangan membuat kondisi ekonomi global jadi serampangan. Apalagi angsa-angsa hitam tersebut kemudian penasaran dan berani masuk ke dalam dua jalur dari dampak ketidakpastian, yakni perdagangan dan keuangan.

Seperti yang banyak diketahui, dampak risiko instabilitas yang lebih cepat menular adalah melalui jalur keuangan. Dengan dunia yang semakin tidak ada batas, perputaran dan aliran keuangan dapat bersumber dari mana-mana, dan ditempatkan di mana-mana. Angsa-angsa hitam akhirnya berhasil mengusik stabilitas sistem keuangan.

Realitas Moral Panik yang Sulit Dihindari

Tapi bukannya mencari cara untuk mengusir angsa, kita justru sibuk dengan kepanikan. Hal ini menunjukkan bahwa Moral panik akibat efek dari pemberitaan yang dijejalkan seakan menjadi kodrat yang memang tertanam di dalam sanubari kita. 

Belum tiga jam dirilis kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia, kita langsung menyerbu pasar sambil berpikir, pertama jika tidak belanja sekarang, bisa saja esok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, esok hari barangnya sudah tidak ada. Akhirnya tak hanya Masker dan hand sanitizer yang sekejap jadi punah, bahkan kelangkaan merambat hingga ke bahan pangan.

Padahal di bangku SMA kita sering diperdengarkan, bagaimana pasar bekerja dengan mekanisme permintaan dan penawaran. Dimana harga suatu komoditas sangat dipengaruhi oleh mekanisme ini. 

Mungkin kita juga lupa dengan analogi yang disampaikan Richard D. Wolff tentang fenomena langkanya susu: akibat kelangkaan, pasokan susu yang ada kemudian dijual seharga 100 dollar per liternya. 

Kelangkaan tersebut kemudian direspon oleh orang yang memiliki banyak uang dengan berlomba-lomba memborong susu yang langka. Mereka kemudian pulang dan memberikannya kepada kucing peliharaan mereka agar bulu lebat kucing tetap terjaga. Sementara mereka yang tidak memiliki banyak uang pulang dengan tangan hampa, hanya dapat memberikan air putih kepada anak balitanya yang sedari pagi menangis kelaparan.

Tak berbeda di Indonesia, harga 1 Kg jahe yang biasanya berkisar di harga Rp.12.000 hingga Rp.15.000, tiba-tiba melonjak ke harga Rp.50.000. Panic buying memicu kelangkaan jahe. Sebagian dari mereka sengaja menimbun dengan harapan mendapat untung dengan menjualnya kembali. Namun sebagian yang lain tidak dapat memasak hanya karena tak dapat membeli satu siung jahe. Ini baru satu contoh jahe, belum bahan pangan lain yang lebih urgen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun