Kalian semua pasti tidak asing dengan cerita Maling Kunda, Bawang merah dan Bawang Putih, Sangkuriang, dsb. Kisah cerita yang digunakan para orang tua kita untuk dongeng sebelum tidur, nasihat orang tua kepada anaknya pasti sangat melekat dalam memori kita serta menjadi pedoman dari nasihat-nasihat dari kisah legenda itu tadi.
Nenek moyang kita menggunakan cerita foklor merupakan salah satu cara untuk menasehati sekaligus memberikan bimbingan yang baik dengan menuturkan cerita-cerita yang penuh nasihat. Selain itu, foklor itu sendiri berfungsi untuk menyebarkan agama seperti yang dilakukan oleh para wali songo yang mana di dalam pengajiannya menggunakan metode gaya bercerita agar masyarakat tertarik untuk mendengarkan.
Dari semua kisa cerita tersebut khususnya di Indonesia, sangat identik dengan sentuhan mistik-- hal yang tidak dicapai dengan nalar awam. Bahwasanya cerita-cerita tersebut adalah foklor--karya sastra lama yang dihasilkan dari mulut ke mulut hingga saat ini belum diketahui penciptanya itu sendiri.Â
Dari proses terciptanya cerita-cerita tersebut dengan cara mulut ke mulut bukan berarti pada masa itu kita tidak punya aksara. Nusantara lebih mempunyai aksara terlebih dahulu seperti adanya candi-candi.
Lalu mengapa cerita-cerita itu tidak diabadikan layaknya patung-patung ataupun candi-candi tersebut?
menurut Washadi selaku dosen telaah novel di Universitas Pamulang "Lambatnya perkembangan teknologi pada saat itu tidak memumpuni untuk mengabadikan karya-karya sastra dengan teknologi yang ada pada saat itu. Proses terciptanya karya sastra lama tercipta dengan tradisi ngaji seperti yang dilakukan para wali songo."Â
Dengan pendekatan yang berbau mistik terpengaruhi oleh keyakinan masyarakat pada masa itu. Masyarakat pada masa itu masih menganut mitologi yang diwariskan oleh nenek moyang kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H