Mohon tunggu...
Iqbal Mochamad
Iqbal Mochamad Mohon Tunggu... -

Takdir adalah garis, kita sendiri pencipta indah kelengkungannya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hipolavoitte (Part 8)

30 Maret 2011   12:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:17 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kembali ku terjaga, benarlah yang ku alami adalah kuasa Sang Maha Berkehendak. Matahari mulai menurunkan tahta, tanda rotasi pendekar waktu. Lantunan nada indah pengagung keesaan tuhan sayup bergaungan. Menggetarkan keimanan pangeran perang, berkobar menguatkan kepatuhan, bagai seorang gagah pengibar bendera diantara ujung pedang musuh. Lain lagi kuambil langkah bergegas pada gubuk muda. Sebuah tempat yg akan menjadi sejarah terlahirnya seorang pemain kata.
Di hari yang menjelang malam, diriku setengah dalam lamunan. Sambil kudengar lantunan lagu pemilik suara lima oktaf, hawa penabur bunga memajang parasnya sambil mengungkit senyum penggetar kalbu. Naas nian dia terjatuh, entah karena melankolis'a wajahku menidurkan alam bawah sadar'a, ku hinggapi dia secepat ku bisa. Sama tertunduk membenarkan karangan bunga yg ia taburkan lewat keheningan malam, kucuri pandang kilat tanpa kedip, sesaat tak lama. Dia membalas dengan senyum yg dalam, bagai busur panah tumpul yg menjejal teluk hati hingga karam. Detik itu terasa lama, bagai teori relavitas waktu yg einstein kata, memang tak ilmiah namun itu yg terjadi. Apa daya hujan berair asam karena berperang dengan asap penghasil lembaran pensesat pikir. Bunga miliknya kala itu walau bisu bagai kumpulan utusan penepi pesan yg berdawam bahwa dia memendam sebuah tanya. Memang singgasana persinggahan'a hanya terhalang 3 lorong terang dari gubukku. Bukan pertama dia memberi isyarat, sejak selalu dia berpulang dari toko bunga tempat ia bernafkah mencari keindahan selaksa mahkota. Akhirnya selesai jua kemelut hening antara dua jiwa pejalan zaman. Wajah'a merah padam bagai bunga yg ia jatuhkan, tampak serasi bagai permaisuri istana bunga merah seberang desa. Syahdu suara'a mengawali langkahnya memadu ingatan tentang apa yg telah terjadi pula berjalan menjauh menutup kalut atas ketidaksengajaan yg ia inginkan. Lamunanku berbayar sebuah senyum ketulusan, sebuah harga yg mahal untuk kemalasan yg ku lakukan, akan ku ganti bagi'a sebuah yg lebih berarti esok hari. Balasan bagi ketegasan penerima ketidaksempurnaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun